Opera Bus Transjakarta

Setiap hari Sabtu sebuah rutinitas yang tak pernah saya lewatkan adalah menaiki Bus Transjakata jurusan Ragunan-Latuharhari, kemudian transit di halte Halimun untuk seterusnya naik lagi lagi jurusan Pulo Gadung, hingga akhirnya saya turun di Halte TU Gas. Bus Transjakarta merupakan salah satu alat transportasi favorit saya, karena setiap hari Sabtu ia merupakan sahabat yang sangat baik bagi saya, memberi saya kenyamanan, menghindarkan diri terjebak dalam kemacetan lalu lintas di ibukota yang tak pernah hilang barang sekejap.
Di dalam Bus yang mampu mengangkut penumpang dengan kapasitas sampai 82 orang ini, suasana nyaman sangatlah terasa, AC Bus yang tak pernah berhenti menyala, mampu mensterilkan karbondioksida yang tak pernah berhenti keluar dari mulut para penumpang. Tempat duduk yang nyaman juga merupakan salah satu fasilitas yang ditawarkan yang mampu membuat para penumpang sangatlah antusias dalam perburuan demi mendapatkannya. Pengamen jalanan yang sering memberi tekanan bathin bagi setiap penumpang bus kota juga tidak akan pernah kita temui disini.
Selain berfungsi sebagai salah satu fasilitas yang mengakomodir kenyamanan bagi masyarakat, Bus Transjakarta merupakan tempat persinggungan antara komunitas sosial masyarakat, tidak ada hierarki, ataupun strata sosial yang mewajibkan masyarakat kelas kedua untuk menyembah mereka yang dari kelas satu. Semuanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai penumpang.

Namun ironisnya, kadang kenyamanan yang didapatkan malah sering membuat diri kita lupa tentang identitas diri kita yang sebenarnya. Kursi yang empuk malah menjadikan kita kehilangan budaya timur yang sangat kita banggakan. Ketiadaan pengamen jalanan yang melirik tajam penuh makna terhadap perhiasan dan barang-barang berharga yang kita kenakan, malah menjadikan kita pribadi-pribadi sombong dengan segala kemewahan yang kita miliki. Pandangan sinis nan merendahkan seperti sudah menjadi bagian dari pribadi kita.
Alkisah, Pada suatu Sabtu sore, dalam perjalanan dari TU Gas menuju Halimun, saya yang saat itu tidak kebagiaan tempat duduk, berdiri menggantung didepan seorang pemuda yang berpenampilan necis yang sedang menikmati kursi hasil perburuaannya. Sambil menyumbat kedua telinganya dengan sebuah alat pemutar musik, Tampak sekali wajah penuh kenyamanan diwajahnya.
Sesaat kemudian, setelah melewati beberapa halte. Di sebuah halte naiklah seorang perempuan tua sambil menjinjing sebuah keranjang, tampak sekali wajah yang kontras dengan laki-laki yang sedang duduk tadi. Wajah yang terlihat lelah setelah menjalani runtinitas mencari sesuap nasi demi anak-anaknya yang telah menunggu dirumah.
Dengan wajah memelas sang ibu kemudian memberanikan diri mendekati sang pemuda, dengan sedikit sentuhan dia memohon belas kasihan agar sang pemuda mau memberikan tempat duduk kepadanya. Sungguh sangat menyedihkan, sang pemuda hanya diam tak peduli dengan sang ibu, hingga akhirnya sang ibu harus berdiri sampai ia turun di Matraman.
Kemudian saya melanjutkan perjalanan dari Halimun menuju Ragunan. Tapi, karena banyak ibu-ibu yang naik di Dukuh Atas akhirnya saya memberikan tempat duduk kepada salah seorang dari mereka.
Bus bergerak menuju Ragunan, dalam perjalanannya, naik seorang wanita yang sedang menggendong seorang balita. Mungkin karena sudah biasa tidak peduli dengan orang lain, si ibu juga seakan tidak menunjukan sikap memohon tempat duduk kepada penumpang lain. Tapi, diwajahnya terlihat jelas, betapa ia sangat kelelahan mengendong sang bayi sambil berdiri di dalam Bus. Ironisnya lagi, juga tidak seorang penumpangpun yang menawarkan tempat duduk untuk sang ibu.
Turun dari Bus Transjakarta, saya merenungkan kembali beberapa kejadian yang telah saya temui hari ini. Betapa anehnya perkembangan kebudayaan manusia, sering sekali kita melihat dan mendengar orang-orang berteriak mengajak untuk saling peduli, peduli terhadap sesama, peduli terhadap binatang langka, peduli terhadap alam. Namun, realita yang kita temukan sangatlah memiriskan hati. Orang-orang berlomba menyumbat telinga sebagai simbol ketidakpedulian mereka dengan keadaan sekitar, menutup mata dengan kacamata kesombongan terhadap apa yang mereka miliki.
Pertanyaanya, apakah kita mesti hidup dalam kesengsaraan untuk kembali menumbuhkan sikap peduli, seperti halnya ketika negeri ini sedang dijajah? Adakah rasa kepedulian masih hidup dalam nurani kita? Bagaimanakah kongkretnya kepedulian itu ada?
Sudah saatnya pertanyaan tersebut kembali kita renungkan, untuk membangkitkan kepedulian dan kearifan lokal yang telah lama mati suri. Bukan sekedar slogan, tapi sesuatu yang dapat kita nikmati. Yang kita butuhkan bukanlah mereka yang berteriak, tapi adalah mereka yang betindak. Agar kematian budaya Bangsa yang kita banggakan ini tidak pernah kita temui. [no_free_en]



0 Comments: