Sultan Abdul Hamid II; Aktualisasi Nilai Islam Dalam Ranah Politik Modern

Jumat, 28 Agustus 2009

Islam dan politik adalah dua suku kata yang sangat familiar. Dalam diskusi dan kajian politik keduanya sering hadir secara bersamaan. Kedua istilah ini mampu menyedot perhatian para intelektual untuk membahasnya. Sebagian orang malah melabelkan Islam untuk dipasangkan dengan kata politik –politik Islam-. Walaupun demikian halnya, pada realita peta politik di zaman modern tetap saja dua istilah ini dipandang ibarat dua sisi simetris rel kereta api yang sulit untuk dipertemukan.
Dalam bahasa politik ada sebuah adagium yang seakan sudah menjadi manifesto para politisi; "Tak ada yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan". Disisi lain, Islam berbicara atas dasar prinsip-prinsip idealis yang bersifat absolut, dan semuanya itu terangkum dalam Alquran dan Hadist. Dua kitab suci yang senantiasa dipegang teguh setiap muslim sebagai sumber hukum mutlak yang tak dapat dibantah.

Dinamika ideologi politik modern cenderung bersifat pragmatis karena bersumber dari proses perenungan dan pemikiran kaum intelektual yang tidak mungkin melepaskan diri dari tandensi-tandensi pihak tertentu. Sedangkan Islam, ialah sebuah produk penuntun yang langsung bersumber dari Allah swt, Pencipta dan Pengatur manusia dan tentunya Maha Tahu dengan kebutuhan makhluknya.
Dan menurut Sayyid Quthb, pemerintah yang tidak menerapkan Islam sebagai UU disebut sebagai Masyarakat Jahilliah. (Hidayat, Nuim. 2005. Sayyid Quthb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani Press). Dalam sejarah politik modern, sistem pemerintahan yang pure mengambil dua sumber hukum yang datang dari Allah swt sebagai Undang-Undang (UU) tidaklah pernah kita temukan. Namun kenyataan tersebut bukanlah sebuah ketidak niscayaan akan adanya pemerintah yang mengadopsi nilai-nilai Islam untuk diterapkan dalam prilaku politik.
Abdul Hamid (1842-1918 M) adalah salah satu contoh ideal dari sosok pemimpin yang mampu menerapkan nilai-nilai Islam dalam perjalanan karir politiknya sebagai penguasa kesultanan Utsmaniyyah. Walaupun pada masa pemerintahannya sistem pemerintahan Barat sudah kuat, karena proses infiltrasi sistem pemerintahan Barat sudah diterapkan oleh sultan sebelumnya. Namun westernisasi sistem pemerintahan Khilafah yang berimplikasi terhadap prilaku politisi menjadi pribadi pragmatis dan opurtunis tidaklah mengubah kepribadian Abdul Hamid sebagai seorang pemimpin muslim yang idealis dan teguh dalam memegang prisip keislamannya.
Abdul Hamid adalah salah seorang putra dari Sultan Abdul Madjid, Sultan dari keluarga Utsman yang pada masa pemerintahannya kesultanan Utsmaniyyah untuk pertama kali mengadopsi sistem pemerintahan yang berasal dari Barat (Eropa). Ia mengganti sistem struktur Diwan yang selama ini dijalankan oleh pemerintahan Utsmaniyyah dengan sistem al-Bab al-‘Aliy, yaitu semacam sistem kabinet atau dewan menteri.
Pada masa kecilnya, Abdul Hamid belajar ilmu dasar kepada ayahnya. Selain mempelajari bahasa Arab dan Parsia, ia juga dengan tekun mempelajari sastra. Kepribadiannya sangat kuat walaupun ia tinggal ditengah arus westernisasi yang saat itu tengah gencar di Turki. Beliau tinggal di wisma kesultanan yang menjaganya dari segala tindak tanduk negatif dan pengaruh buruk dari kebudayaan Eropa.
Abdul Hamid menduduki kursi kesultanan Utsmaniyyah pada pada tanggal 31 Agustus 1876 M, menggantikan saudaranya sultan Murad. Dan setelah itu ia diberi gelar, Sultan Abdul Hamid II.
Abdul Hamid II dan Umat
Selama masa kepemimpinannya, Sultan Abdul Hamid II senantiasa dihadapkan dengan pelbagai permasalahan kenegaraan yang sangat rumit, yang jika tidak diselesaikan dengan tepat akan mengancam eksistensi kekhilafahan Turki Utsmaniyyah waktu itu. Pelbagai macam kekacauan dalam segala aspek tersebut bukan hanya berasal dari faktor interen -kalangan pejabat pemerintahan yang haus kekuasaan serta ancaman disintegrasi daerah yang jauh dari pusat pemerintahan Utsmaniyyah-, namun yang lebih mengancam adalah rongrongan kebencian dan kerakusan dari eksteren Eropa yang bermaksud menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmaniy.
Dalam menyelesaikan semua konflik yang datang, Abdul Hamid II senantiasa mementingkan pendekatan persuasif dalam pemecahan permasalahan dalam negerinya. Ia senantiasa menyebarkan ide-ide pemersatuan semua kelompok yang berada dalam kekuasaan kerajaan Utsmaniyyah untuk menggalang persatuan demi menghadapi menghadapi ancaman dari pihak luar yang ingin menghancurkan eksistensi kerajaan Utsmaniyyah. Ia mengusahakan terjalinnya persatuan antara pengikut Ahl sunnah wa al jamaah dengan pengikut Syiah demi menjaga wilayah Utsmaniyyah dari penjajahan bangsa kolonial Eropa.
Politik devide et empera yang diterapkan oleh bangsa kolonial Prancis, Inggris, Rusia dan Negara-negara Eropa lainnya untuk memecah belah persatuan umat. Ide Nasionalisme Arab yang ditanamkan kepada bangsa Mesir dan Negara-negara Afrika oleh Inggris dan Prancis demi mengahancurkan kekhilafahan Utsmaniyyah dari dalam, ia senatiasa mengikapinya dengan kecermatan dan kehati-hatian yang sangat mendalam. Semua itu ia lakukan bukan lantaran keterbatasan kekuasaan yang ia miliki, namun hal tersebut lebih dari demi menjaga kesatuan umat agar tidak terpecah belah. Sehingga bangsa Eropa yang sangat berkepentingan demi hancurnya kekhilafahan Utmaniyyah tidak bisa mengambil mamfaat dari lemahnya persatuan umat.
Sultan Abdul Hamid II mengutamakan membangun kesatuan umat, dengan lebih berkosentrasi terhadap perdamaian dengan para pejabat yang berniat melengserkannya. Ia memberi para pejabat tersebut fasilitas dan jabatan, berharap mereka dapat menyingkirkan ide-ide busuk mereka yang akan berdampak terhadap perpecahan umat dan disintegrasi negeri-negeri Islam yang jauh dari pusat.
Walau ia berhadapan dengan permasalahan dalam negeri yang sangat kompleks, Abdul Hamid II juga tidak pernah mengabaikan setiap gangguan yang mengancam kaum muslimin yang datang dari luar. Demi mempertahankan wilayah teritorial Utsmaniyyah dari gangguan Rusia, Sultan Abdul Hamid II bahkan rela membiayai perang dengan Rusia dengan hata pribadinya.
Salah satu konsistensi yang diperlihatkan oleh Sultan Abdul Hamid II dalam memelihara territorial wilayah Utsmaniyyah ialah usahanya dalam mempertahankan al Quds (Palestina) dari pencamplokan bangsa Yahudi. Usaha lobby yang gencar dilakukan para petinggi Zionis -Theodore Hertzl- agar sultan mau memberikan wilayah Palestina bagi kaum Yahudi, ia tolak mentah-mentah. Bahkan tawaran harta pribadi bagi sultan serta janji pelunasan hutang Negara Utsmaniyyah yang mencapai 300 juta lira, tidak mampu meluluhkan keteguhannya dalam mempertahankan tanah Palestina.
“Aku tidak dapat menjual bagian dari negeri tersebut (Palestina) walau satu telapak kaki pun, karena negeri itu bukan milikku, tetapi milik rakyatku. Rakyatku telah sampai kedaerah itu dengan mengucurkan darah mereka, dan mereka pun akan kembali menumpahkan darah mereka esok hari. Di masa mendatang, kami tak akan membiarkan seorang pun merampasnya dari kami”. Demikian tulis Hertzl mengutip jawaban dari Abdul Hamid II, ketika ia berusaha meminta Alquds kepada sultan. (Harb, Muhammad. 2004. Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II (terjemahan Abdul Halim). Bogor: Pustaka Thariqul Izzah).
Dicari: Pemimpin berjiwa Abdul Hamid II
Keshalehan politik yang dicontohkan Abdul Hamid II telah menjadi sejarah yang digoreskan dengan tinta emas. Konsistensinya dalam menjaga persatuan umat dan keutuhan wilayah kaum muslimin telah menjadi kenangan terindah kaum muslimin dimana pun mereka berdiri.
Dalam konteks Indonesia, pesta pemilihan presiden yang akan segera berlangsung tentunya sangat diharapkan akan melahirkan sosok pemimpin yang berjiwa seperti sultan Abdul Hamid II. Pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadinya. Pribadi yang diharapkan mampu mengayomi rakyat, memberikan mereka rasa aman dan kesejahteraan.
Cukup sudah ironi politik yang dipertontonkan dengan vulgar meracuni pikiran rakyat. Walau sistem politik yang ada, senantiasa memandu para politisi untuk bersikap inkonsisten, namun bagi mereka yang mempunyai kepribadian yang kuat dan jujur. Segala macam godaan dan cobaan yang menerpa tidak akan membengkokkan sikap dan karakter mereka yang lurus.
Kelak, ketika jasad mereka telah hancur berkalang tanah, jasa dan pengorbanan mereka akan kekal sepanjang masa, menembus batas dimensi abadi, melewati sekat-sekat zaman, serta akan menjadi sumber inspirasi bagi berjuta generasi setelahnya. Wallahua’lam.



Read More......

Prita Mulyasari dan Kebebasan Pers.

Rabu, 03 Juni 2009


Wajah perempuan itu terlihat sendu. Matanya sembab. Baju hitam yang dipadu dengan jilbab warna senada kian mempertegas kemurungan hatinya. Wajahnya tak mampu menahan kesedihan dan kerinduan kepada anak yang masih disusuinya, suami, dan keluarga. Prita Mulyasari, 32 tahun, sudah 20 hari mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tagerang akibat gugatan dari pihak Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra, Tangerang, tempat dulu ia dirawat.

Prita menjadi tahanan yang dititipkan oleh Kejaksaan Negeri tangerang karena disangka mencemarkan nama baik rumah sakit melalui Internet. Ia dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan hukuman maksimal enam tahun penjara atau denda maksimal Rp 1 miliar Ia menjadi orang kedua yang dijerat undang-undang itu setelah Narliswandi Piliang, seorang jumalis media on line.

Akibat pengurungan itu, berat badannya langsung melorot. "Selama di sini, berat badanku turun 5 kilogram," ujar karyawati di bagian call center di sebuah bank swasta ini. Selama di tahanan, Prita banyak mengisi waktu dengan mempelajari keterampilan. saat di kunjungi di ruang jenguk Lapas Wanita Tangerang yang sempit dan panas.

Perbuatan Prita Mulyasari (32) yang mengirimkan email berisi keluhan tentang pelayanan RS Omni Internasional kepada teman-teman pribadinya belum bisa dikategorikan pelanggaran dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hal itu karena email tersebut sifatnya keluhan pribadi.

"Jika hanya bersifat keluhan pribadi ya saya rasa tidak (termasuk pelanggaran) ya. Sama seperti kita kirim SMS ke teman. Kecuali jika ada motif tertentu maka di sinilah harus dibuktikan motifnya apa," ujar mantan anggota Panitia Khusus (Pansus) UU ITE Ganjar Pranowo saat berbincang dengan detikcom, Selasa (2/6/2009).
Ganjar menambahkan, perbuatan Prita yang mengirimkan email tersebut mungkin saja tanpa motif. "Kecuali kalau teman-temannya menyebarluaskan terus ditambah-tambahi, semua pihak bisa dipertanggungjawabk an," ungkapnya.

Menurut Ganjar, perbuatan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE mempunyai syarat pembuktian yang cukup sulit. Seseorang yang melanggar harus dibuktikan memiliki motif sengaja mencemarkan nama baik.

Oleh karenanya penyidik jangan gegabah menggunakan pasal tersebut jika belum mempunyai bukti yang cukup. "Karena ini di dunia maya jadi berbeda dengan dunia riil," tambahnya.

Sebelumnya, Prita ditahan karena dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap RS Omni lewat internet. Kasus yang menimpa Prita ini berawal dari email yang dia kirim kepada teman-temannya seputar keluhannya terhadap RS Omni. Email tersebut kemudian menyebar ke publik lewat milis-milis.

Dalam emailnya, Prita merasa dibohongi oleh diagnosa dokter ketika dirawat di RS tersebut pada Agustus 2008. Dokter semula memvonis Prita menderita demam berdarah, namun kemudian menyatakan dia terkena virus udara. Tak hanya itu, dokter memberikan berbagai macam suntikan dengan dosis tinggi, sehingga Prita mengalami sesak nafas.

Saat hendak pindah ke RS lainnya, Prita mengajukan komplain karena kesulitan mendapatkan hasil laboratorium medis. Namun, keluhannya kepada RS Omni itu tidak pernah ditanggapi, sehingga dia mengungkapkan kronologi peristiwa yang menimpanya kepada teman-temannya melalui email dan berharap agar hanya dia saja yang mengalami hal serupa.

Saat ini Prita telah ditahan di Lapas Wanita Tangerang, Banten. Selain dijerat dengan pasal pencemaran nama baik, Prita juga dikenai Pasal 27 ayat (3) UU ITE No 11/2008


Read More......

Serba-Serbi Indigo

Sabtu, 30 Mei 2009

Teman-teman,

Aku ingin tahu apa sih sebenernya defnisi anak Indigo?

J = Definisi anak indigo tergantung anda sendiri. Anda mau definisikan bagaimana, ya jadilah itu. Saya sendiri tidak suka memakai istilah indigo selain untuk bergurau saja karena menurut pengalaman pribadi saya, mereka yg mengaku sebagai indigo itu ternyata manusia yg memiliki naluri lebih kuat daripada manusia lainnya.

Naluri itu instincts, bawaan dari tubuh fisik. Naluri mengatur rasa lapar, haus, capek, birahi, pertahanan diri, dsb. Kalau lapar maka kita makan. Tetapi ada orang yg selalu merasa lapar terus, ini orang yg nalurinya kuat, lebih khusus lagi dalam hal mengunyah makanan. Ada orang yg selalu merasa haus. Ada orang yg selalu merasa capek. Ada orang yg selalu merasa konak karena naluri sex di dirinya terlalu besar. Ada juga orang yg selalu merasa harus mempertahankan dirinya dari serangan orang lain, semua orang dianggap sebagai berpotensi mengancam keberadaannya

Pedahal tidak ada soal ancam mengancam itu, dan segalanya cuma ada di dalam pikiran manusia yg terlalu naluriah itu. Istilah psikologinya bermacam-macam, tetapi karena saya bukan seorang psikolog dan cuma konselor biasa-biasa saja, maka saya menggunakan istilah yg juga umum, yaitu naluriah. Kalau nalurinya terlalu besar, maka orang akan mencari alasan apapun untuk mempertahankan keberadaan dirinya.

T = Apakah kmampuan mereka selalu bisa melihat makhluk gaib, membaca pikiran orang, melihat masa depan dan masa lalu, dan bisa mengetahui peristiwa yang terjadi di tempat lain?

J = Nggaklah. Itu isapan jempol belaka. Semua orang itu sedikit banyak bisa membaca pikiran orang lain. Kalau kita memiliki empati, maka kita bisa membaca pikiran orang. Saya sendiri bisa "tahu" orang dari melihat tulisannya saja. Anda juga bisa "tahu" orang hanya dengan menatap matanya. Ini kemampuan biasa-biasa saja.

Kalau melihat masa depan dan masa lalu memang suatu kelebihan tersendiri, tapi yg dilihat itu cuma impressi saja, kesan saja, dan tidak harus selalu persis. Sedangkan untuk mengetahui peristiwa yg terjadi di tempat lain merupakan hal yg sangat umum juga. Kita semua bisa, tinggal angkat telpon saja bukan?

T = Apakah saya termasuk indigo atau cuma mendekati indigo, karena setelah saya browsing di internet tentang anak indigo, banyak kesamaan ciri yang ada pada saya. Apakah itu cuma suatu kebetulan, seperti saya terkadang sangat takut sekali kalo suatu saat nanti saya berpisah dengan ortu saya, paling benci kalo menunggu, gampang sekali bosan, suka melamun, suka menyendiri di kamar, suka memperhatikan orang dengan pandangan yg aneh kata mereka sih, dan juga saya merasa terlalu sensitif dengan sifat-sifat orang, dan terkadang saya juga bisa mengetahui sifat-sifat orang dalam waktu yang singkat, jadi gak perlu mengenal untuk waktu yang lama, bahkan kadang hanya melihat orang tersebut saya sudah tau orang ini seperti apa, mungkin gara-gara itu saya jadi sensitf terhadap sifat-sifat orang, walaupun saya tidak bisa membaca secara langsung tapi saya bisa memahaminya dengan menganalisa dalam waktu yg relatif singkat.

Saya juga susah sekali berkonsentrasi, bahkan sering juga orang yang bilang saya telmi pedahal guru matematika saya dulu bilang kalo saya ini anak pinter, tapi saya gak merasa kalo saya pinter gara-gara saya susah sekali berkonsentrasi kalo sedang diajar di sekolah. Terus pernah ada orang pinter bilang kalo saya sensitf sekali dengan hal-hal yang gaib, terutama di bagian telinga kanan sampai sebagian leher di sebelah kanan, dan saya juga sering mendengar hal-hal yang orang lain tidak bisa mendengarnya, seperti ada benda jatuh suaranya terdengar keras sekali tapi anehnya tidak ada yg mendengar, dan pernah saya mendengar ada orang yang memangil saya dari pekarangan rumah saya saat bermain pedahal gak ada orang sama sekali, bahkan terkadang kalo saya tidur seringkali saya melihat ada penampakan orang-orang yang aneh atau hewan aneh dan saya merasa pada saat itu dalam keadaan setengah sadar.

J = Menurut saya anda biasa-biasa saja. Saya juga sensitif seperti itu, tapi saya tidak pernah menyebut diri saya indigo, untuk apa?. Mo indigo kek, mo gak indigo kek, so what gitu lho!

T = Dulu saya pernah bermimpi, waktu itu adik saya masih kecil, saya bermimpi pada waktu siang adik saya akan berkata begini kepada orang, dan ternyata benar siangnya ternyata adik saya berkata demikian, tapi mungkin cuma sekali saya bermimpi akan kejadian yang benar-bernar terjadi, gak tau kalo ada yang saya udah lupa.

J = That's very common, sangat umum. Semua orang mengalami kejadian seperti itu, namanya precognition, tahu sebelumnya. Bisa juga dibilang deja vu. Kita merasa seperti telah melihat sesuatu sebelum terjadi, dan ternyata benar-benar terjadi. Penjelasanya adalah bahwa pikiran kita bekerja secara telepathik, sambung menyambung dengan pikiran-pikiran yg lain. Ada juga teori yg mengatakan bahwa waktu itu illusi, dan segalanya yg akan terjadi sebenarnya telah terjadi sehingga bisa kita "lihat" juga kalau kita kebetulan masuk ke dalam frekwensi yg sesuai. Ini cukup biasa, dan tidak perlu terlalu dipikirkan.

Dan berikut percakapan dengan rekan yg berbeda:

T = Yth. Mas Leo,

Terima kasih atas balasan surat dari mas dan juga atas sharingnya. Mudah-mudahan ini dapat menjadi awal yang baik untuk diskusi selanjutnya dan saya bisa belajar banyak dari Mas Leo.

Saya jadi merasa “telmi” (telat mikir), masalah anak indigo saja belum paham betul… eee... sudah muncul generasi anak kristal. So, apa perbedaan yang signifikan antara anak indigo dan anak kristal? Apa hanya karena perbedaan temperamen saja, di mana anak kristal lebih tenang? Kenapa disebut anak kristal (kenapa gak disebut anak berlian atau emas, he..he..he) ? Maaf, banyak tanya.

J = Menurut saya istilah anak kristal itu muncul karena peluang bisnis. Psikolog yg menciptakan istilah indigo itu kan sudah panen uang gede-gedean, sehingga akhirnya ada psikolog yg bermata jeli dan melihat another opportunity. Diciptakanlah istilah anak kristal, dan bener aja, panen duit lagi.

Indigo is a big business in the USA, puluhan buku diterbitkan, mungkin ada trainings segala macam, konseling, dan pengalihan label anak bermasalah menjadi anak indigo.

T = Setelah membaca tulisan Mas Leo, jadi terpikir oleh saya jangan-jangan fenomena indigo itu hanya sebuah rekaan manusia yang merasa dituntut untuk selalu berkarya sesuai dengan bidang yang diminati/digeluti, untuk menghasilkan pengetahuan- pengetahuan baru. So, ada sebagian orang yang cermat melihat/mengamati adanya gejala-gejala baru atau kecenderungan perilaku anak-anak yang muncul pada generasi pada saat itu. Kalau tidak salah (ini cuma menurut pikiran saya, yang orang dengan kemampuan rata-rata alias bukan pinter), sebuah asumsi atau teori itu lahir berawal dari pengamatan terhadap suatu keajegan yang membentuk suatu pola tertentu.

J = Ya benar, 100 untuk anda.

T = Sekali lagi, jika saya kaitkan dengan tulisan Mas Leo bahwa telah terjadi perubahan peradaban dalam kehidupan, yang salah satu dampak positifnya adalah perubahan cara pandang terhadap eksistensi dan perlakuan terhadap seorang anak. Perubahan perlakuan tersebutlah yang akhirnya berpengaruh pada perubahan pola perilaku anak, anak-anak tumbuh semakin cerdas, semakin jujur, semakin sensitive, dan lebih bisa berempati.

Perubahan pola perilaku atau kecenderungan perilaku anak-anak pada masa tersebut, kemudian ditangkap/dibaca dengan jeli oleh orang-orang yang berminat pada fenomena yang sedang terjadi tersebut dan kemudian diterjemahkan dalam asumsi/teori, sehingga terlahirlah suatu pengetahuan baru tentang fenomena anak indigo. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan kecenderungan aura yang muncul pada anak-anak tersebut berwarna indigo.

J = Ya, memang demikian.

T = Sekali lagi, kalau saya kaitkan dengan tulisan Mas Leo, berarti, fenomena anak indigo sebenarnya adalah fenomena yang wajar saja terjadi, sebagai akibat dari adanya perubahan peradaban tersebut. Kalaupun ada ‘anak indigo’ yang mempunyai perilaku yang aneh-aneh dan membuat orang di sekitarnya menjadi pusing, mungkin saja itu merupakan sebagian dari proses transisi dari peradaban yang lama ke yang baru. Kalau memang demikian, sebenarnya yang mengalami transisi adalah para orang tuanya, dari peradaban yang dibawa oleh generasi yang lebih tua dari si orang tua, menuju peradaban yang lebih baru yaitu masa kehidupan yang sedang dialami oleh generasi para orang tua anak indigo. So pasti, masa transisi atau perubahan tersebut berpengaruh pada pola pikir para orang tua dan pola dalam memperlakukan anak. Setahu saya, masa transisi biasanya masa yang tidak nyaman, biasanya karena aturan mainnya masih dapat berubah-ubah.

J = Iyalah, kita semua sudah tahu itu. Anak-anak kita sudah jauh lebih jujur dibandingkan dengan generasi kita, dan kita haruslah belajar dari anak-anak kita dan bukan memaksakan apa yg diajarkan oleh orang tua kita dahulu kepada generasi di bawah kita. Kita dulu dididik untuk menjadi manusia munafik, sedikit banyak seperti itu. Tantangannya sekarang, akankah kita juga mendidik generasi di bawah kita menjadi manusia munafik? Kalau ya, kapan kita mau maju?

Kemampuan anak Indonesia sebenarnya tidak kalah dengan anak yg dilahirkan di Amerika Serikat, tetapi cara mendidiknya itu beda. Mereka di sana dididik untuk menjadi diri sendiri. Kita di sini, untuk menjadi diri sendiri saja masih dihalangi.

T = Apa yang saya kemukakan tadi, merupakan pikiran sederhana saya, yang notabene bukan orang pinter, dan tanpa memperhatikan ada/tidaknya kemampuan metafisik yang dimiliki anak indigo.

J = Kemampuan metafisik itu cuma istilah saja, kemampuan seperti apa, melihat hantu?

You could let such nonsense go. Kita semua memiliki kemampuan metafisik, there's nothing strange about that. Baik kita pakai istilah indigo ataupun tidak, kita semua memang memiliki kemampuan non fisik, namanya kemampuan empatik, membaca apa yg dirasakan oleh orang lain. We use it all the time. Anda juga menggunakannya, bahkan ketika sedang membaca tulisan ini, ya gak?

T = Kebetulan saya mempunyai teman yang dapat melihat warna aura seseorang. Dia mengatakan bahwa warna aura manusia dapat berubah-ubah, tergantung dari jiwanya. Jika memang demikian, bisa jadi, saat anak lahir tidak memiliki aura warna indigo, tapi setelah mendapat perlakuan yang kondusif untuk terbentuk karakter anak indigo, so auranya berubah menjadi warna indigo.

J = Aura itu impressi saja. Kalau orangnya aktif secara fisik, maka kita memperoleh impressi bahwa warna auranya merah kuning. Kalau orangnya emosional, maka kita akan memperoleh impressi aura berwarna hijau, dsb.

T = Setahun yang lalu, teman saya melihat aura anak saya berwarna biru-kemerahan, kemudian sebulan yang lalu aura anak saya berwarna merah. Saya cek ke teman yang lain, katanya juga merah. Dan teman saya juga mengatakan bahwa anak saya mempunyai instinct yang kuat sehingga tahu apa yang baik untuk dia lakukan dan saya disarankan untuk tidak terlalu mengatur/mendikteny a..

J = Ya, itu benar. Dalam terminologi aura-auraan, begitulah cara penyampaiannya. Anak anda semakin aktif secara fisik sehingga terlihat auranya semakin merah.

T = Saya jadi bingung. Banyak karakter anak saya yang cocok dengan karakter anak indigo, tapi auranya berwarna merah. Tambah bingung lagi, sekarang muncul fenomena anak kristal. Mungkin untuk lebih tenangnya, saya setuju dengan pemikiran Mas Leo bahwa revolusi pendidikan telah membuat para orang tua, guru, dan juga masyarakat menjadi lebih beradab dalam memperlakukan anak sehingga anak bisa tumbuh lebih sensitif, lebih memiliki empati, lebih cerdas, berpikir lebih bijak, dan lebih jujur. Ini terlepas dari urusan warna aura.

J = Anda tidak perlu bingung dengan istilah aura-auraan. Mau aura berwarna indigo kek, mao merah kek, so what gitu lho. You are the parent, and you have to responsibility to follow your child's development, tut wuri handayani. Dan itu tanpa perlu konsultasi tentang warna aura segala macam.

T = Mas Leo mengatakan:

"Generasi-generasi sebelumnya biasanya membebankan segalanya kepada si anak yg harus belajar agama, harus menurut, harus bilang ya walaupun hati kecilnya bilang tidak. Akibatnya kita memiliki generasi yg diajar untuk munafik sejak masih kecil. Kalau masih kecil saja sudah munafik, apalagi kalau sudah dewasa? Tapi itulah yg kita dapati sekarang di Indonesia, generasi demi generasi yg dididik untuk menjadi manusia munafik."

Saya S E T U J U !!

Kalau boleh saya tambahi, sejak kecil seringkali anak diajarkan untuk tidak melihat ke dalam dirinya sendiri. Sehinga setelah dewasa, seringkali melihat suatu kesalahan selalu ditimbulkan oleh situasi atau orang lain alias dirinya tidak pernah salah. Dan juga tidak punya keberanian untuk introspeksi diri sejujur-jujurnya. Nah, orang semacam itu biasanya cuma bikin runyam suasana saja. Setuju, gak?

J = Setuju, kita memang dididik oleh generasi di atas kita yg pendidikannya masih kurang. Untungnya kita sudah lebih maju sekarang.

T = Mas Leo mengatakan:

“Tekan menekan adalah kata kunci di sini. Sejauh mana kita mau menekan anak-anak kita untuk mengikuti jalan pikiran kita? Tetapi nampaknya anda bukan jenis orang tua seperti itu.”

Jujur saja, dulu saya memang agak menekan anak saya, karena saya menaruh harapan yang tinggi pada dia (mungkin ini warisan perlakuan dari bapak saya yang perfectionist dan otoriter). Mungkin juga didukung oleh sikon waktu itu, saya kuliah dan kerja (suami sempat 3 tahun bekerja di luar kota), sehingga semua harus berjalan sesuai dengan rencana dan aturan saya agar semua urusan bisa selesai. Akibatnya, anak saya menjadi korban. Karena itu, saya memutuskan untuk sementara konsen pada anak.

Saya tidak tahu banyak tentang teori psikologi anak, tapi saya meyakini bahwa basic character building manusia terjadi sampai anak usia 10 tahun (ini cuma berdasar naluri saya sebagai seorang ibu). Tentunya Mas Leo jauh lebih mengetahui tentang hal tsb daripada saya. Kalau sekarang saya lebih sabar dan ibarat seperti bermain layang-layang dalam memperlakukan anak saya. Saya belajar untuk longgar hati dan memberi ruang gerak yang lebih luas bagi anak saya untuk menggali potensinya dan mengekspresikan dirinya. Puji Tuhan, sekarang dia menjadi anak yang sering membuat kami terkejut dengan kemajuan-kemajuan yang dibuatnya.

J = That's good.

T = Mas Leo bilang:

“You care for your kid, termasuk orang tua teladan juga maybe".

Ini pujian yang berlebihan, mas. Btw, saya amini saja deh, biar menjadi ortu teladan beneran bukan sekedar ‘maybe’. he..he..he..

J = Amin.

T = Sebelum saya akhiri surat ini, bolehkah saya tahu, Mas Leo saat ini aktif dimana? Apakah sebagai dosen psikologi? Terima kasih banyak atas waktu yang diluangkan untuk sharing dengan saya.

J = Saya memberikan konseling kepada mereka yg meminta walaupun background saya bukan psikologi. Bersama Audifax saya menulis buku "Psikologi Tarot" (Pinus, 2008). Yg memiliki background psikologi itu Audifax, saya kebagian peran cuap-cuap memberikan konseling kepada anak-anak yg mengindigokan diri dan orangtuanya.


Read More......

LIPIA itu Wahabiy...???

Selasa, 19 Mei 2009

LIPIA Jakarta itu, Wahabi karena institusi pendidikan ini didirikan oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi, karena di sini para mahasiswanya diajarkan bahwasanya memperingati maulidan itu adalah sebuah perbuatan bid’ah, Wahabi karena para mahasiswanya memakai celana menampakkan mata kaki, Wahabi karena para mahasiswinya menggunakan cadar atau kerudung yang lebar serta berbahan gelap.
Beberapa waktu lalu, seorang mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah asal Jakarta, menceritakan bahwasanya ia dulu pernah mendaftar dan diterima sebagai mahasiswa LIPIA Jakarta. Namun ketika ia mengkabari Kiyainya di pesantren yang berada di daerah Cirebon, Jawa Barat. Si Kiyai lantas melarang muridnya tadi melanjutkan perjalanan ngelmunya di LIPIA, karena menurut si KIyai LIPIA itu menganut mazhab Wahabiyah.
Di sebuah Majlis Ta’lim dalam peringatan maulid, seorang yang biasa di panggil dengan sebutan Kiyai oleh masyarakatnya, berorasi dengan semangat yang berapi-api tentang kewajiban memperingati maulid. Dan menentang setiap pihak yang mengharamkannya, serta menuduh LIPIA sebagai dalang dalam mengkampanyekan keharaman memperingati maulid.

Baru-baru ini, seorang santriwati di sebuah pondok pesantren di Padang Panjang, Sumatera Barat. Yang selama ini bertekad untuk melanjutkan pengembaraan thalabul ilminya di LIPIA Jakarta, tiba-tiba mengungkapkan keengganannya setelah mendengarkan Black campaign dari seorang oknum alumni pesantrennya yang menyatakan LIPIA mewajibkan para mahasiswinya untuk selalu berpakaian menutup aurat serta terbuat dari kain yang berbahan gelap.
Namun ketika ditanyakan tentang LIPIA dan segala dinamika pemikiran dan system yang berkembang di dalamnya tentu saja mereka tidak akan pernah mampu menjelaskannya. Selama ini mereka hanya mendengar desas desus negatif yang selalu mendeskriditkan LIPIA dari pihak yang memang hanya memendam rasa dendam, tanpa pernah melakukan kroscek akan kebenaran informasi yang mereka terima.
Ketika ditanya tentang LIPIA saja mereka tidak mampu menjelaskannya, apakah mereka akan bisa menjelaskan tentang judul Wahabi yang selama ini dipandang sebagai label ampuh untuk menyudutkan LIPIA. Tentu saja tidak bisa bahkan tak akan pernah bisa.
Hal ini sungguh sangat disayangkan, pasalnya dalam era post modern yang sarat dengan keterbukaan. Masih ada sebagian orang yang terjangkiti penyakit phobia yang tak berdasar. Dan anehnya lagi, generasi muda yang seharusnya mampu memposisikan sebagai lokomotif penggerak perubahan juga masih terkesan “tebang pilih” dalam mendalami semua disiplin ilmu pengetahuan, termasuk sejarah.
Sejatinya, apabila berbicara tentang pergerakan Wahabiyah. Kita tidak akan pernah bisa memisahkan sejarah bangsa ini dari organisasi pergerakan pemurniaan tauhid yang pada awalnya tumbuh dan berkembang di Negara Arab Saudi ini. Karena peran yang dimainkan oleh pergerakan Wahabiyah sangatlah besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Negara Indonesia ini. Bahkan jauh sebelum pergerakan NU dan Muhammadiyah lahir dan berkembang di bumi Pertiwi.
Nama Wahabiyah sendiri merupakan sebuah penisbatan dari pendiri organisasi ini, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab. Dan penting untuk diketahui, Wahabiyah bukanlah sebuah mazhab baru, seperti yang selama ini disangka oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun ia hanyalah sebuah organisasi pergerakan yang bertujuan untuk memurnikan aqidah kaum muslimin dari tindak kemusyrikan yang pada masa itu tengah meracuni kaum muslimin Arab. Walau pun dalam menjalankan misinya para jamaah Wahabiyah sering kali menggunakan cara-cara yang frontal. Jadi, Wahabiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan yang memprakarsai akan pemurnian kembali pemahaman Tauhid kaum muslimin, sama halnya dengan pergerakan Muhammadiyah di Indonesia.
Ada pun masuk dan perkembangan ide dan metode yang dipakai Wahabiyah di Indonesia bukanlah dibawa oleh LIPIA Jakarta, yang baru berdiri pada tahun 80 an. Tapi jauh sebelum itu, pada akhir abad 19 Wahabiyah sudah berkembang di Indonesia, tepatnya di Provinsi Sumatera Barat.
Pada akhir abad 19, ide pergerakan Wahabiyah dibawa ke Ranah Minang oleh Haji Miskin yang pada zaman itu baru kembali dari perjalanan menuntut ilmu di Tanah Haram. Selain dari Haji Miskin, tokoh penggerak Wahabiyah di Nagari Urang Awak lainnya adalah Tuangku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang, Tuangku Imam Bonjol dan beberapa orang lainnya. Mereka semuanya berjumlah delapan orang, dan di ranah minang mereka dikenal dengan sebutan Harimau Nan Salapan.
Dalam menjalankan misi dakwahnya, para tokoh Wahabiyah ini mendapat penentangan dari kaum adat. Walaupun Islam sudah berkembang di Sumatera Barat tapi prilaku dan akhlak masyarakat Minang saat itu jauh dari cermin seorang muslim. Budaya memberi sesajen kepada batu besar dan kuburan keramat masih ada, perjudian berkembang ditengah masyarakatnya. Dan mereka inilah yang dikenal sebagai kaum adat. Dalam perselisihan ini, Kaum adat dibantu oleh penjajah Belanda.
Akhirnya timbullah peperangan antara kaum Wahabiyah dengan kaum adat yang didukung oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam sejarah bangsa Indonesia perang ini dikenal sebagai perang Paderi. Yang selain sebagai sebuah perang dalam usaha pengusiran penjajah Belanda juga merupakan sebuah perang antara Kaum Wahabiyah yang mempunyai misi pemurnian tauhid dengan Kaum adat yang kental dengan budaya kemusyrikan. Dalam perang ini kaum Wahabiyah dipimpin oleh Tuangku Imam Bonjol.
Setelah Indonesia merdeka, tokoh Wahabiyah ini diangkat oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai salah seorang pahlawan nasional yang berjasa dalam mengusir penjajah dan mempertahankan tanah Indonesia. Tentu saja dengan adanya penganugerahan gelar pahlawan nasional ini menjadikan sejarah Indonesia tak akan pernah lepas dari kontribusi positif kaum Wahabiyah.
Akhirnya, kesimpulan yang menyatakan LIPIA sebagai ikon Wahabiyah merupakan sebuah pengkhianatan terhadap sejarah bangsa ini. Dan tentunya stigma yang selama ini melekat pada pergerakan Wahabiyah haruslah ditanggalkan. Karena sejarah tak kan bisa dibohongi. Walau semua orang berniat untuk menghapuskannya. Dan Wahabiyah tidaklah sedangkal yang selama ini kita terka. Juga tidak sedangkal pemikiran yang mereka mengaku Wahabi pahami saat ini.



Read More......

Kontroversi “Knowing” dalam Perspektif Teologi Islam

Sabtu, 16 Mei 2009


Berawal dari sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 1959 di sebuah Sekolah Dasar di Amerika Serikat. Pada sebuah jam pelajaran, seorang guru menyuruh para muridnya untuk menghadirkan imajinasi mereka dalam sebuah bentuk lukisan yang bertemakan tentang ramalan mereka tentang apa yang akan terjadi dalam masa lima puluh tahun yang akan datang.
Semua murid yang berada dalam kelas tentu saja menyambut tugas tersebut dengan suka cita. Tapi, lain halnya dengan seorang murid bernama Lucinda. Lucinda yang di mata para gurunya dipahami sebagai murid yang selalu terlihat sedih tidak mengambar apa pun di lembaran sebesar kanvas yang disediakan oleh sang guru. Ia mengukir lembaran tersebut dengan deretan angka yang tidak bisa dipahami oleh sang guru dan juga teman-temannya.
Ketika waktu yang tersedia telah habis. Sambil mengamati hasil karya kreatifitas murid-muridnya, sang guru meminta mereka untuk mengumpulkan pekerjaan tersebutl. Ketika ia sampai di depan meja Lucinda yang terlihat masih sibuk dengan segala aktivitasnya, sang guru sangatlah kaget dengan tingkah si murid. Sambil memprotes pekerjaan Lucinda, sang guru langsung merebut pekerjaan yang belum sempurna tersebut.


Setelah semua murid mengumpulkan semua tugas mereka, tugas tersebut di simpan dalam sebuah tabung silinder berbahan baja untuk kemudian di tanam di halaman sekolah. Dan akan dibuka di kemudian hari yaitu selama lima puluh tahun yang akan datang. Pada acara penanaman penanaman tabung silinder, Lucinda tiba-tiba menghilang dari acara tersebut. Suasana menjadi panik, setelah beberapa lama mencari, akhirnya Lucinda ditemukan dalam keadaan kukunya bersimbah darah. Rupanya Lucinda menyempurnakan pekerjaannya dengan cara mencakar menggoreskan angka-angka dengan kuku tangannya disebuah daun pintu sebuah gudang.
Lima Puluh tahun kemudian, Professor Jhon, seorang pengajar Aerofisika di MIT dan Putranya Caleb secara tidak sengaja mampu menerjemahkan angka-angka tersebut. Pada waktu itu, Caleb dan teman-temannya yang notabene adalah murid di tempat Lucinda dulu pernah belajar diberi kehormatan untuk membuka masing-masing satu lembar kertas imajinasi tersebut. Dan secara kebetulan Caleb mendapatkan kertas kepunyaan Lucinda. Ketika melihat deretan angka tersebut, tentu saja Caleb yang juga seorang anak kecil yang terlihat mempunyai bakat alami dalam bidang Aerofisika tertarik dengannya.
Caleb kemudian membawa kertas tersebut pulang ke rumahnya. Ketika Jhon melihat anaknya membawa inventaris sekolah pulang, Jhon meminta Caleb untuk mengambilakan ke pihak sekolah.
Namun takkala Caleb sedang tidur, Jhon yang berprofesi sebagai seorang Aerofisikawan tergelitik untuk memecahkan kode-kode angka tersebut. Setelah ia melihat deretan angka tersebut sebagai sebuah kode yang mempunyai arti untuk dipecahkan.
Setelah berusaha dengan segenap tenaga, akhirnya Jhon menemukan sebuah fakta ajaib tentang angka tersebut. Deretan angka tersebut ternyata berisikan tentang catatan tragedi kemanusiaan di bumi yang banyak merengut banyak jiwa manusia dalam kurun lima dekade terakhir.
Dan sebuah tantangan datang dari angka-angka tersebut, yaitu keberadaan tiga tragedi tersisa yang salah satunya adalah sebuah tragedi tentang akhir dari sejarah manusia (hari kiamat). Dan teka-teki tentang akhir dunia ini diterjemahkan oleh sang sutradara film berjudul ‘Knowing’ yang dibintangi oleh Nicholas Cage ini.
Namun, dibalik imajinasi menawan sang sutradara tentu saja masih ada terdapat cacat yang akan menandai akan ketidak sempurnaan makhluk bernama manusia. Dan apabila kita lebih cermat dalam menganalisa film ini tentu saja akan menghadirkan sebuah fakta yang akan sangat mengagetkan kita semua, apalagi jika sebagai seorang muslim.
Oleh sebab itu maka kita akan menggunakan pisau analisa teologi dalam membedahnya. Dan tentu saja pisau analisa teologi yang saya gunakan adalah analisa seorang muslim.
Sebagai sebuah film yang sukses, tentu saja film ini ditonton oleh berbagai kalangan, dan tidak ketinggalan kaum muslimin. Walupun film ini bertemakan tentang hari kiamat yang juga terdapat dalam keimanan kaum muslimin. Namun sayangnya film ini sangatlah bertentangan dengan nilai keimanan kaum muslimin.
Dan pada saat ini saya hanya akan mengupas tentang apakah film ini dapat menambah keimanan kita sebagai seorang muslim kepada Allah, atau malah sebaliknya. Disebabkan saya juga termasuk orang yang sudah pernah menyaksikan film ini, saya cendrung untuk mengatakan bahwasanya film ini berusaha menghancurkan keimanan kaum muslimin terhadap alam metafisika. Dan menggantikannya dengan keimanan kepada Sains dengan menjadikan para Saintis sebagai Tuhannya.
Hal ini terlihat jelas dari cara mereka dalam mengasosiasikan hari kiamat sebagai sebuah efek dari tingkah laku manusia yang semakin tidak bersahabat dengan alam. Dan hal ini dapat dibaca oleh para saintis sebagai awal dari akhir dunia. Walaupun melalui sebuah ramalan yang tidak mempunyai sebuah dasar rasional ilmiah.
Ketika masyarakat dunia tersadar akan semua ini, tentunya mereka akan berpaling pada pada menuhankan Sains dengan segala hal yang terdapat di dalamnya. Dan apabila hal ini dapat mempengaruhi jiwa seorang muslim, tentu saja akan mengakibatkan sebuah erosi keimanan yang sedikit demi sedikit akan mengikis keimanan kita pada hari kiamat dan yang juga akan menjatuhkan kita pada menuhankan sains dengan Tuhan berjas putih yang terus menerus berupaya menrong-rong kemutlakan kekuasaan Tuhan yang selama ini diyakini manusia.
Maka oleh sebab itu kaum muslimin diharapkan untuk dengan segala macam daya kritis yang kita miliki untuk dapat membaca segala fenomena yang akan menjatuhkan kita pada hal-hal yang ditentang oleh agama kita. Karena perangkap iblis yang ada saat ini sungguh akan melenakan kita. Perangkap yang sangat sulit untuk mendeteksinya, sehingga kita hanya akan tersadar ketika kita sudah berada dalam siksaan Tuhan dan akan menyesali hal tersebut.
Ciputat, 09.



Read More......

Hantu Flu Babi Selimuti Bumi

Rabu, 29 April 2009

Dalam dua pekan terakhir masyarakat dunia disibukkan dengan kemunculan momok Swine Influenza (Flu Babi) yang telah menewaskan lebih dari seratus orang. Flu babi merupakan sejenis virus varian H1N1 yang berasal dari babi. Virus ini pertama kali ditemukan di Negara Meksiko dan selanjutnya menyebar cepat ke Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Spanyol, Israel. Di Negara asalnya virus ini telah menewaskan lebih dari seratus jiwa, dan lebih seribu orang telah diyakini terinfeksi olehnya.
Penularan penyakit influenza babi di Amerika Serikat dan Mexico ini telah menarik perhatian komunitas internasional, termasuk pemerintah Indonesia yang langsung meningkatkan surveilans penyakit dan memperketat pengawasan lalu lintas orang di pelabuhan laut dan udara untuk mengantisipasi penyebarannya.
Influenza babi atau “flu babi” awalnya merupakan penyakit respirasi akut sangat menular pada babi yang disebabkan oleh salah satu virus influenza babi, termasuk di antaranya virus influenza tipe A subtipe H1N1, H1N2, H3N1, H3N2.

Angka kesakitan akibat infeksi virus yang menyebar di antara babi melalui udara baik dengan kontak langsung maupun tidak langsung dengan babi pembawa virus itu cenderung tinggi pada populasi babi namun tingkat kematian akibat penyakit ini rendah, antara satu persen hingga empat persen.
Kejadian flu babi pada populasi binatang tersebut umumnya sepanjang tahun dengan peningkatan kejadian pada musim gugur dan dingin.
Selain bisa terinfeksi virus influenza babi tipe A subtipe H1N1, babi juga bisa terinfeksi virus avian influenza H5N1 (flu burung) dan virus influenza musiman atau virus influenza yang biasa menyerang manusia. Bahkan kadang babi juga bisa terinfeksi oleh lebih dari satu tipe virus dalam satu waktu.
Kondisi yang demikian memungkinkan virus-virus tersebut saling bercampur dan memunculkan strain virus baru dari beberapa sumber (reassortant virus). Hal inilah yang antara lain membuat virus flu babi yang normalnya spesifik dan hanya menginfeksi babi kadang bisa menembus batas spesies dan menyebabkan kesakitan pada manusia.
Kejadian luar biasa penyakit infeksi influenza babi pada manusia beberapa kali pernah dilaporkan terjadi. Manusia biasanya tertular flu babi dari babi dan, meski sangat sedikit, dari orang yang terinfeksi karena berhubungan dengan babi atau lingkungan peternakan babi.
Kasus penularan flu babi dari manusia ke manusia sendiri terjadi dalam beberapa kasus namun masih terbatas pada kontak dekat dan sekelompok orang saja.
Gejala flu babi pada manusia umumnya serupa dengan gejala infeksi virus influenza yang biasa menyerang manusia yakni demam lebih dari 37,8 derajad celcius, sakit tenggorokan batuk, pilek, sakit kepala dan nyeri.
Presentasi klinis tipikal infeksi flu babi pada manusia yang serupa dengan inluenza biasa dan infeksi saluran pernafasan atas yang lain itu membuat sebagian besar kasusnya tidak terdeteksi dari surveilans influenza sehingga kejadian penyakit ini pada manusia secara global belum diketahui.
Tindakan pencegahan antara lain bisa dilakukan dengan menghindari kontak dengan orang yang sedang sakit, menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin, mencuci tangan dengan air dan sabun, sebisa mungkin menghindari kontak dengan orang lain saat flu serta mencari pertolongan medis jika sakitnya parah supaya mendapatkan pengobatan.

Risiko Pandemi

Semua orang, utamanya mereka yang tidak secara reguler melakukan kontak dengan babi, tidak punya kekebalan terhadap virus influenza babi yang bisa mencegah infeksi virus sehingga jika virus babi berubah menjadi virus yang efisien menular dari manusia ke manusia maka berpotensi menimbulkan pandemi influenza.
Namun menurut WHO dampaknya masih sulit di prediksi, tergantung pada keganasan virus, kekebalan tubuh manusia, perlindungan silang oleh antibodi yang dibutuhkan tubuh dari infeksi influenza musiman dan faktor inang.
Sementara vaksin yang bisa melindungi manusia dari infeksi virus flu babi hingga kini belum ada.
Vaksin influenza biasa yang ada saat ini pun belum terbukti efektifitasnya dalam memberikan perlindungan dari infeksi terhadap influenza babi.
WHO bersama semua mitra dari berbagai institusi masih melakukan penelitian berlanjut untuk mengetahui efektifitas penggunaan vaksin tersebut dalam pencegahan flu babi.
Penanganan kasus influenza bisa dilakukan dengan pemberian obat antivirus untuk penyakit influenza biasa yang terdiri atas dua kelas yakni adamantane (amantadine dan remantadine), dan inhibitor neuraminidase influenza (oseltamivir dan zanamivir).
Namun WHO menyatakan belum memiliki cukup informasi untuk membuat rekomendasi tentang penggunaan obat antivirus dalam pencegahan dan penanganan infeksi flu babi.
Menurut organisasi tersebut, klinisi harus membuat keputusan berdasarkan penilaian klinis dan epidemiologis dengan mempertimbangkan keuntungan dan bahayanya untuk menggunakan obat antivirus sebagai prophylaxis atau untuk pengobatan pasien.
Dalam kejadian flu babi di Amerika Serikat dan Mexico, pemerintah setempat merekomendasikan penggunaan oseltamivir dan zanamivir untuk pencegahan dan pengobatan namun demikian kasus flu babi yang dilaporkan terjadi baru-baru ini umumnya bisa disembuhkan tanpa membutuhkan pertolongan medis khusus dan pemberian obat antivirus tertentu.

Virus lama, subtipe baru.

Flu babi sebenarnya penyakit pernapasan yang umum ditemukan pada babi, tapi strain virus yang ada saat ini mewabah dan menginfeksi manusia tampaknya subtipe yang tak pernah terlihat sebelumnya, baik pada babi maupun pada manusia.
Umumya flu babi tidak menular ke manusia. Menurut WHO, ketika terserang flu, babi akan sakit, 1-4 persen diantaranya mati. Di masa lalu, terkadang ada manusia yang tertular flu babi jika mereka melakukan kontak langsung dengan babi.
Strain flu babi baru ini adalah subtipe yang mengandung material genetik dari babi, burung dan manusia, kata WHO. Richard Besser, direktur pelaksana centers for Disease Control and Prevention, Amerika Serikat menyatakan, berbeda dengan kasus flu babi umunya, flu babi baru ini dapat menyebar antar manusia. Pada salah satu kasus di Amerika, seorang penderita flu babi tertular penyakit berbahaya itu dari pasanganya yang baru bepergian ke Meksiko.
Para ilmuwan menduga babi adalah "mangkuk pencampur" untuk beberapa virus flu. Burung tak dapat menularkan flu burung kepada manusia, namun, secara unik, babi rentan terhadap serangan flu yang menginfeksi burung.
Para ilmuwan telah lama khawatir, strain flu burung yang menginfeksi babi akan bermutasi dalam tubuh mamalia itu dan berkembang menjadi bentuk yang dapat menyerang manusia dan mamalia lain. Kemungkinan itulah yang terjadi sekarang.
Babi juga bisa terinfeksi lebih dari satu virus influenza pada saat yang sama, yang memungkinkan virus-virus itu saling berbagi gen, yang disebut "genetic reassortment", menciptakan lebih banyak virus baru, dan berpotensi lebih berbahaya dari virus sebelumnya.
Dari berbagai sumber*)



Read More......

Pendidikan Itu Proses, Sobat!

Senin, 27 April 2009

Pendidikan dengan segala macam problematikanya telah menjadi momok yang menakutkan! Ehhmm... Benarkah? Sebelum Sobat memberi tanggapan setuju atau tidak terhadap ungkapan diatas, ada baiknya untuk terlebih dahulu kita hidangkan beberapa fenomena menarik yang terjadi dalam dunia pendidikan di negeri kita, Indonesia saat ini.
Pemerintah mengalokasikan dana APBN sebanyak 20% demi memajukan mutu pendidikan bangsa. Kemudian, pemerintah menetapkan standar kelulusan seorang siswa adalah mendapatkan nilai 5,5 melalui proses Ujian Nasional (UN). Pemerintah menaikkan gaji guru, supaya hidup para "Oemar Bakrie " lebih sejahtera serta mampu fokus dalam mendidik para pewaris bangsa ini. Dan mereka tidak lagi mesti menjadi seorang pemulung atau pun tukang ojek demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga mereka.

Bagaimanakah hasil dari semua kebijakan tersebut?. Alokasi dana APBN sebesar 20% yang telah dijanjikan pemerintah belum ada wujud nyatanya. Di Bandung, Desember silam seorang siswi SMK nekad gantung diri karena tidak mampu membayar tunggakan SPP. Di provinsi Bengkulu 16 orang pejabat kepala sekolah ditangkap polisi karena terlibat acara bahas soal bersama yang rencananya jawaban tersebut akan disebarkan kepada anak didik mereka. Di seluruh pelosok Nusantara, sebagian besar siswa menderita stress ketika akan menghadapi UN. Serta masih ada oknum pejabat sekolah yang meminta pungli terhadap para murid. Dan segala macam bentuk kekerasan dan diskriminasi masih saja terjadi dilingkungan sekolah.
Ironis memang kelihatannya. Target-target ideal dalam dunia pendidikan yang memang seharusnya dapat membentuk pribadi yang ideal dalam membangun sebuah peradaban. Tapi, kenyataan yang terjadi di lapangan sungguh jauh dari sebuah kesempurnaan. Bahkan yang terjadi justru aksi penistaan terhadap dunia dan lembaga pendidikan.
Rasanya gak adil, jika kita terus-terusan menyalahkan sistem pendidikan atas semua kekacauan ini. Karena jika kita mau jujur, pada hakikatnya perubahan akan nasib seseorang itu tergantung tehadap perubahan yang lahir dari sanubari pribadi tersebut dalam memandang dirinya sendiri, bukan dengan cara merubah orang lain.
Seperti perkataan seorang pujangga kelahiran Rusia, Leo tolstoy, "everybody thinks changing the world, but nobody thinks changing him self". Hal ini sangat seiring dengan ayat Alquran yang mengatakan bahwasanya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali mereka merubah diri mereka sendiri.
Sobat ElKa bisa mengambil sebuah pelajaran yang sangat penting dari ayat alquran dan perkataan Leo Tolstoy tersebut. Yaitu tuntutan untuk menghasilkan sebuah pencapaian yang maksimal dengan lebih mengutamakan proses.
Kenapa proses menjadi hal yang sangat krusial?. Benar sekali! Karena kenikmatan yang hakiki justru ada pada proses. Pernahkah Sobat bertanya pada diri Sobat sendiri?, kapankah kenikmatan makanan yang Sobat makan? Apakah sewaktu makanan tersebut ada dalam mulut, atau ketika makanan tersebut sudah berada dalam perut, saat Sobat sudah merasa kenyang?. Pasti jawabannya adalah ketika makanan tersebut sedang berada dalam mulut kita.
Apabila paradigma sepeti ini dipakai dalam memandang mengembangkan dunia pendidikan dalam negeri saat ini, tentunya kebijakan-kebijakan yang mencoreng citra pendidikan tak perlu terjadi, dan yang paling penting ialah akan terlahir generasi terdidik yang matang melalui pendidikan yang lebih mengutamakan pada proses.
Dalam sejarah perjalanan para ilmuwan mana pun kita tidak pernah membaca sebuah literatur yang menulis tentang seorang yang lahir dalam keadaan berpengetahuan. Yang ada ialah sebuah kisah perjalanan mereka menjadi seorang ilmuwan.
Maka ayat yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah ialah, Iqra'!. Yang berarti perintah untuk membaca, sebuah proses mencapai ilmu pengetahuan. Wallahu a'lam.



Read More......

Untuk Yang Ingin Belajar Kembali

Cak Nun beserta rombongan Kiai Kanjeng hibur korban bencana alam Situ Gintung.
Jumat (24/04) Pemerintah kotamadya Tanggerang Selatan mengadakan acara Mental dan Spritual Recovery bagi para korban bencana alam Situ Gintung. Acara diadakan pada pukul 20.00 WIB bertempat di lapangan sepakbola ISCI, Kertamukti, Ciputat. Acara tersebut menghadirkan Emha Ainun Najib atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cak Nun beserta kelompok kesenian Kiai Kanjeng binaannya.
Dalam kesempatan yang mengangkat tema "Untuk Yang Ingin Belajar Kembali" tersebut, Cak Nun beserta para hadirin bersama-sama mendoakan keselematan bagi korban yang meninggal. Serta memberi semangat dan dorongan bagi korban selamat, dengan mendoakan para korban diberi Allah ketabahan dan kesabaran yang tinggi atas musibah yang menimpa mereka.

Bencana jebolnya Situ gintung yang melanda daerah Cirendeu, Ciputat, tanggerang, 27 maret silam, menelan korban jiwa sebanyak 90 orang. Sebagaimana disampaikan oleh walikota Tanggerang Selatan, Ir. H.M Shaleh MT. "Menurut data statistik yang baru kami terima jumlah korban yang meninggal bencana Situ Gintung berjumlah 90 jiwa serta 4 jiwa yang masih belum ditemukan, hal ini sekaligus konfirmasi dari berita yang sebelumnya menyatakan jumlah korban meninggal dunia mencapai angka seratus lebih".
Selain itu Cak Nun mengajak para pihak yang terkait dalam proses rehabilitasi korban selamat untuk lebih mengedepankan proses pembangunan kembali mental. Cak Nun menyampaikan wejangannya, "Mereka yang telah pergi, tinggalkanlah urusan mereka bersama Yang Maha Kuasa, yang lebih penting ialah yakinkan bahwasanya proses pembangunan kembali mental dan spritual korban yang selamat berjalan sebagaimana mestinya".
"Karena pada saat ini bangsa Indonesia sibuk dengan urusan Pemilu Legislatif dan akan berlanjut dengan Pemilu Pilpres Juli mendatang, jadi para pejabat cenderung melupakan korban bencana alam yang terjadi dimana-mana, termasuk korban bencana Situ Gintung".
"Padahal bencana Situ Gintung merupakan pintu bagi penyelesaian masalah bangsa yang semakin pelik. Apabila proses penyelesaian bencana Situ Gintung berjalan sukses, maka insya Allah proses penanganan masalah bangsa Indonesia yang lain akan dapat terselesaikan" demikian ia menambahkan.
Selain berkesempatan mendengar nasehat dari Cak Nun, Masyarakat yang hadir juga dihibur oleh pementasan kelompok kesenian Kiai Kanjeng binaan Cak Nun. Lantunan Shalawat dan lirik yang bermakna sufistik dapat menghadirkan kegembiraan bagi masyarakat yang hadir. Dan sedikit mengobati kegalauan jiwa.



Read More......

Ruang Yang Telah Hilang

Rabu, 15 April 2009

Ada seorang pangeran kecil dengan makhkota ajaibnya dan penyihir jahat menculiknya, mengurungnya di menara, membuatnya jadi bisu. Di menara itu ada jendela berterali besi dan pangeran kecil itu membenturkan kepalanya ke terali, berharap seseorang akan menengar suaranya dan menemukannya. Mahkota itu membuat suara terindah yang pernah didengar orang. Suaranya menggema sampai jauh. Begitu indahnya suara tersebut sehingga orang ingin menangkap udara. Mereka tak menemukan sang pangeran, tak pernah menemukan kamarnya, tapi suara itu memenuhi hati setiap orang dengan keindahan. (Alfathri Alin, editor jalasutra).
Setelah membaca paragraf pertama dari catatan editor buku berjudul 'Hipersemiotika, tafsir cultural studies atas matinya makna' karangan Yasraf Amir Piliang, sejenak saya terbuai dengan keindahan kata yang digoreskan pena sang editor. Terbang dalam keindahan susunan kalimat yang membutakan mata hati untuk melihat pesan yang akan disampaikannya. Saya terpesona layaknya para penduduk kerajaan yang tidak lagi mencari makna yang ada dari alunan suara benturan kepala pangeran ketika berbenturan dengan terali besi.

Dan layaknya seperti sebuah mimpi, ketika terbangun saya sadar akan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Membawa saya untuk melihat dunia dalam perspektif yang berbeda. Mencoba menilai kebudayaan masyarakat dalam dari sudut pandang yang sedikit orang yang menggunakannya. Menunutut saya menjadi penduduk kerajaan yang akan memahami perasaan sedih sang pangeran dan membebaskanya dari penjara penyihir jahat.
Oleh sebab itu, saya menghadirkan ceritera tersebut dalam versi penduduk dihabitat ruang modern saat ini. Bukan tentang penderitaan seorang pangeran kecil yang ditawan oleh penyihir jahat, tetapi tentang penderitaan yang saat ini semua anak bergenus manusia tersiksa dan terpenjara olehnya.
Saat mata hati dibutakan oleh kesenangan semu yang ditawarkan oleh berbagai macam rekayasa teknologi informasi. Kesenangan yang hanya dapat dinikmati dalam sejenak saja, namun pada hakikatnya adalah sebuah kehancuran yang besar telah berada dipelupuk mata kita.
Perangkat teknologi audiovisual seakan telah menjadi sebuah kebutuhan primer manusia modern pada zaman ini. Kecanggihan yang ditawarkan olehnya tidak lagi sebagai sebuah hiburan. Namun ia telah bermutasi menjadi makhluk yang sangat berpengaruh dalam proses pembentukan pola pikir dan tingkah laku manusia.
Pada dasarnya, segala macam pencapain manusia dalam bidang teknologi bukanlah sebuah kekeliruan yang mengakibatkan sebuah kefatalan. Namun, tendensi-tendensi busuk yang lahir dari rahim tangan-tangan kotor manusia telah menjadikan semua itu layaknya sebuah virus yang akan mengacaukan segala macam bentuk keharmonian yang ada dalam peradaban manusia.
Setiap detik otak manusia dibombardir oleh milyaran informasi yang bersiliweran. Sedangkan dalam teori fisika quantum dijelaskan, sebuah otak manusia mampu memproduksi rata-rata 14 ribu pemikiran perhari, 5 juta pertahun, 350 juta selama hidupnya. Dan untuk tetap dalam keadaan waras maka mayoritas pemikiran tersebut hanya berupa pengulangan.
Oleh karenanya, sistem otak manusia hampir setiap saat berada dipercabangan menuju bifurkasi (percabangan yang berpengaruh positif/negatif). Satu turbulen kecil berasal dari kamulasi keresahan akan membawa manusia pada tingkatan kritis yang bisa menjadikannya apa saja.
Teknologi audiovisual sebagian besar menyajikan sebuah produk budaya yang sangat primitif. Menampilkan segala macam adegan kekerasan dan iklan yang membangun mentalitas pecundang. Membunuh kreatifitas tangan masyarakat luas. Hingga seseorang ketika membeli sebuah barang pun tidak lagi berdasarkan kepada nilai utalitas produk tersebut. Tapi, telah menjadikan mereka sebagai penganut fetisme.
Dan untuk melegitimasi hal itu, maka digunakanlah tokoh public figure sebagai ikon mereka. Public figure yang juga hasil dari rekayasa teknologi informasi. Manusia-manusia kerdil yang seakan tiada mempunyai nurani. Dengan iming-iming kenikmatan dunia mereka rela menjadi virus perusak peradaban manusia.
Beginilah corak informasi yang menyerang otak kita. Bukanlah sesuatu yang bisa diklasifikasikan antara negatif dan positif. Sekali lagi manusia telah merubah identitas hitam putih salah benar menjadi wilayah abu-abu yang sulit untuk diraba. Sehingga tiada lagi jarak pemisah antara salah dan benar, tiada lagi realitas dan kebohongan, semuanya telah bercampur menjadi satu adonan budaya yang tidak bisa dipahami tapi hanya bisa dinikmati. Inilah ruang yang menawarkan sebuah pandangan yang semuanya serba relatif.
Jika kondisi ini tidak kita usahakan untuk merubahnya, maka saksikanlah bencana degradasi moral yang akan pelan tapi pasti akan mengahancurkan peradaban manusia. Satu pertanyaan, apakah kita akan bisa bertahan hidup didalamnya?.



Read More......

Lirycs of We will not go down

Senin, 13 April 2009

a cumposed by Michael Heart

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they're dead or alive
They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze
We will not go down
In the night, without fight
You can burn up our mosques and our homes
And our scholls
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so called leaders of countries afar
Debated on who's wrong or right
But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

indonesian vesion...

Cahaya putih yang membutakan mata
Menyala terang di langit Gaza malam ini
Orang-orang berlarianuntuk berlindung
Tanpa tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati
Mereka datang dengan tank dan pesawat
Dengan berkoberan api yang merusak
Dan tak ada yang tersisa
Hanya suara yang terdengar di tengah asap tebal
Kami tidak akan menyerah
Di malam hari, tanpa perlawanan
Kalian bisa membakar masjid kami, rumah kami, dan sekolah kami
Tapi semangat kami tidak akan pernah mati
Kami tidak akan pernah menyerah
Di Gaza malam ini
Wanita dan anak-anak
Dibunuh dan di bantai tiap malam
Sementera para pemimpin nun jauh disana
Berdebat tentang siapa yang salah dan yang benar
Tapi kata-kata mereka dalam kesakitan
Dan bom-bom pun berjatuhan seperti hujan asam
Tapi melalui tetes air mata dan darah serta rasa sakit
Anda masih bisa mendengar suara itu di tengah asap tebal
Kami tidak akan menyerah
Di malam hari, tanpa perlawanan
Kalian bisa membakar masjid kami, rumah kami, dan sekolah kami
Tapi semangat kami tidak akan pernah mati
Kami tidak akan menyerah
Di Gaza malam ini.



Read More......

Menggugurkan Prinsip “Bebas-Nilai” dalam Kajian Ilmu Sosiologi

Rabu, 08 April 2009

Hampir mayoritas sosiolog akan berpendapat bahwa ilmu sosiologi menggunakan prinsip “value free” (bebas nilai) demi menjaga obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu atau teori. Unsur nilai yang memasukkan asumsi subyektivitas ke dalam kajian sosiologi akan menyebabkan ketidakobyektifan sebuah gagasan. Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.[1] Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral).
Untuk memahami perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, kita sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas (kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki. Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Menurut Ignas Kleden, dalam pengertian pengetahuan yang praktis ini terkandung dua makna, yaitu persoalan nilai dan kepentingan yang akan menimbulkan perdebatan dan pernyataan apakah pengetahuan itu bebas nilai dan tanpa adanya kepentingan.[2]

Kalau dalam makna pengetahuan yang bebas nilai, sosiologi itu sekedar menjadi ilmu yang mendeskripsikan kenyataan obyektif, dan berputar pada persoalan teoritis. Tidak ada campur tangan seorang peneliti dalam kajian dan pengamatannya. Di sinilah kemudian ada cap yang teralamatkan pada pengetahuan dengan makna demikian sebagai pengetahuan yang tidak perlu memecahkan masalah karena jika sudah seperti itu maka persoalan nilai dan kepentingan pasti akan masuk. Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para pelopor sosiologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai. Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importance), Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai pelopor positivisme dalam sosiologi mengklaim bahwa ilmu yang digagasnya itu dapat memecahkan masalah.[3] Jadi, tidak bisa semata-mata itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu. Atau ilmu itu tidak semata-mata teoritik, tapi juga terkandung kegunaan praktisnya. Dalam hal ini sosiologi profetik tidak hanya terpaku pada ilmu teoritik saja, tapi juga bersifat praktis.Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan[4]: ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis. Dalam ilmu alam yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang dilakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus. Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi.
Lalu, Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan.[5] Pertama, pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah amalam spesies manusia. Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan. Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. Dan yang kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Dengan kelima tesis ini Habermas menghujamkan kritikannya terhadap positivisme dan sainstisme. Artinya, ia mengkritik kenaifan ilmu pengetahuan yang bernafsu mencari teori murni yang bebas dari opini-opini subyektif, tendensi-tendensi, penilaian moral, dan kepentingan lainnya.
Prinsip bebas nilai dalam ilmu pengetahuan itu menafikan adanya “historisisme” yang sangat menentukan bagaimana konstruksi atas pengetahuan itu. Jika dilihat menurut kacamata sosiologi pengetahuan maka sesunggunya ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sangat terkait dengan konteks historis kemunculannya. Max Scheler dan Karl Mannheim, dari aliran sosiologi pengetahuan, menentang ide mengenai ilmu-ilmu sosial yang bebas nilai. Keduanya menyatakan bahwa pikiran, bahkan pikiran logis para ilmuan sekalipun, dibentuk secara historis dan itu, baik disadari atau tidak, sedang merefleksikan kebudayaan mereka sendiri dan perspektif sosial yang mereka adopsi. Seorang ilmuan memang harus mengatasi prasangka-prasangka mereka dengan memperbaiki kadar kualitas pembacaan mereka atas realitas, dengan berpangkal pada obyektivitas, tapi pada saat yang sama mereka harus mengklarifikasi asumsi-asumsi yang mendasar, memahami lokasi-lokasi sosial mereka sendiri dalam masyarakat, dan juga secara kritis mempertanyaan cita-cita sosial yang ada di masyarakat.[6] Jadi, konstruksi berpikir seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, yang itu kemudian menuntut dirinya mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Ideal pengetahuan obyektif Abad Pencerahan “membasmi” semua pra-pendapat subyektif untuk membentuk suatu pendekatan yang “netral” dan “obyektif”. Hal ini dimaksudkan agar terbebas dari bias-bias emosional, afektif, dan pribadi, dengan mengunggulkan akal dan metodologi yang logis sebagai jalan menuju pencerahan. Pengetahuan yang dihasilkan seperti ini adalah akibat historis yang terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural dengan bangkitnya pemikiran Abad Pencerahan. Berkebalikan dari nuansa abad itu, Gadamer menegaskan kembali pentingnya tradisi dan prasangka dalam memahami segala sesuatu. Seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari batas-batas tradisinya. Tradisi sangat terkait dengan prasangka yang melatarbelakangi penafsiran kita atas realitas. Pentingnya tradisi dan prasangka ini menjadi upaya yang dilakukan oleh Gadamer dalam hermeneutikanya. Memahami (understanding) terkondisikan oleh masa lalu (“tradisi” kita) dan prasangka kita pada saat sekarang. Yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pentingnya tradisi sebagai sebuah faktor yang mengkondisikan dan menjaid batas yang jelas dalam cara-cara di mana orang menafsirkan teks. Dalam proses menafsirkan itu, menurut Gadamer, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan, dan agenda seseorang ke dalam teks. Dalam perspektif Gadamerian, “kebenaran” itu tidak pernah final, definitif atau obyektif, karena terkondisikan historisnya.[7] Kata Gadamer, orang tidak dapat memahami sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Konsep penafsiran obyektif dan bebas nilai menjadi problematis untuk diterapkan secara pasti.[8] Maka, ketika kita memahami teks maupun juga realitas, yang terjadi justru “relativisme”, bukan universalisme dan absolutisme kebenaran. Apa yang ingin diraih dalam netralitas nilai untuk mencapai obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu menjadi absurd.
Ada sebuah tafsiran mengenai nilai yang dilihat menurut kaca mata sosiologi. Kita mungkin pernah mendengar pernyataan Max Weber, salah satu tokoh yang mengembangkan sosiologi, yang sampai pada kesimpulan bahwa sosiologi harus bersifat bebas-nilai. Memang, tafsiran Weber mengenai rasionalitas ada yang berorientasi pada nilai.[9] Tapi, nilai apa yang dimaksud di sini? Seorang pengikut Weberian, Peter L. Berger, menyatakan bahwa hampir tidak mungkin bagi seseorang manusia berada tanpa suatu nilai apapun. Ia mengakui bahwa seorang ahli sosiologi secara normal memang mempunyai banyak nilai, tapi dalam batas-batas kegiatannya sebagai seorang ahli sosiologi hanya ada satu nilai fundamental, yaitu integritas ilmiah.[10] Jadi, nilai yang dimaksud adalah integritas seorang sosiolog dalam mencapai pengetahuan yang obyektif. Seorang sosiolog dengan berbagai macam praduga dan subyektivitas yang mungkin muncul pada dirinya, maka dia harus mampu mencoba memahami dan mengendalikan kemencengan yang harus dihapuskan dalam karya-karyanya.
Apakah dengan pernyataan Weber yang mengambil kesimpulan bahwa sosiologi itu harus bebas nilai menafikan adanya historisitas sebuah kebenaran obyektif? Rasionalitas yang dibangun Weber ternyata secara konsisten bersifat historis, yaitu menempatkan diri di dalam makna suatu zaman di mana ilmu pengetahuan tidak mampu lagi menciptakan makna karena agama dan pengetahuan telah diceraikan.[11] Di tengah memudarnya pesona modernitas dengan nihilisme makna, Weber masih berkeyakinan bahwa Tuhan dan nilai-nilai pemandu bisa untuk dipilih. Tuhan tidak mati, dan justru pengetahuan tidak bisa lagi menciptakan nilai-nilai mengenai diri kita sendiri.[12] Maksud dari teori sosial Weber yang bersifat historis adalah karena pengetahuan yang dihasilkan dari modernitas --salah satu sisi historis peradaban pada Abda Pencerahan-- itu memiliki kekaburan makna maka kita kini sebaiknya menciptakan makna-makna baru dengan tidak menafikan peran nilai dan Tuhan (agama) sebagai pemandu.


[1] Joseph MMT Situmorang, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai”, dalam Majalah Driyarkara, Tahun XXII, No.4, hal. 13.
[2] Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta: LP3ES, 1988), cet.II, hal.24-25.
[[3] Ilyas Ba-Ynus, op.cit, hal. 37.
[4] F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat dan Politik menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 8-10.
[5] Ibid, hal. 11-14.
[6] Gregory Baum, Agama dalam Bayang-bayang Relativisme, terj. A. Murtajib Chaeri dan Masyhuri Arow, (Yogyakarta: Tiara Wacana dan Sisiphus, 1999), hal. 23-24.
[7] Lihat Richard King, Agama, Orientalisme, dan Postkolonialisme, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Qalam, 2001) hlm. 137-144.
[8] Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Seabury Press, 1975), hal. 15.
[9] Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Tindakan rasional (menurut Weber) menurut pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Weber membagi rasionalitas tindakan ini ke dalam empat macam, yaitu: rasionalitas instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan tradisional, dan tindakan afektif. Rasionalitas instrumental sangat menekankan tujuan tindakan dan alat yang dipergunakan dengan adanya pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam melakukan tindakan sosial. Dibandingkan dengan rasionalitas instrumental, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yangs sadar; tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau nilai akhir baginya. Lihat Paul Johnson, op.cit., hal. 220-1.
[10] Peter L. Berger, Humanisme Sosiologi, terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), hal. 11.
[11] Peter Beilharz, Teori-teori Sosial, terj. Sigit Jatmiko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 370.
[12] Max Weber, From Max weber, peny. H.H. Gerth dan C.W. Mills, (London: Routledge, 1948), hal. 155.



Read More......

Ketika Kampus Islam diBajak Orientalis

Oleh: Adian Husaini

Lebih dari 30 tahun benih orientalisme mencengkram studi Islam dan semakin merambah ke berbagai bidang, termasuk studi Al-Qur’an.
Saat mengisi acara workshop di Pondok Pesantren Gontor, 19-20 Agustus 2006 lalu, saya mendapatkan hadiah sebuah Jurnal yang sangat bagus, bernama TSAQAFAH. Jurnal ini diterbitkan oleh Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia. Pada edisi Vol.2, Nomor 2, 2006/1427, diangkat berbagai artikel menarik tentang keislaman. Salah satu yang perlu kita jadikan catatan adalah sebuah artikel berjudul “Framework Kajian Filsafat Islam” tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi, Pembantu Rektor III ISID.
Melalui riset yang cukup mendalam terhadap sejumlah kurikulum kajian filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia –baik yang negeri maupun swasta– Hamid Fahmy membuktikan bahwa kajian filsafat Islam di Indonesia tampak jelas terpengaruh oleh kajian para orientalis. Pengaruh itu tidak hanya pada cara atau metodologi pengkajian, tetapi lebih mendasar lagi, sampai pada framework (kerangka) dan cara pandangnya
terhadap filsafat Islam.
Cara pandang ini tentu bukan tanpa maksud. Secara sistematis, mereka akan menunjukkan bahwa filsafatIslam hanyalah kertas copi dari Yunani; tanpa Yunani, Islam tidak memiliki pemikiran rasional. Padahal, sekalipun konsepsi falsafah juga dikenal dalam pemikiran Islam, namun tetap disertai kritik dan seleksi yang ketat. Itulah yang dilakukan oleh Al-Ghazali dan Ibn Taymiyah.
Menurut Hamid Fahmy, berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang berdasarkan akal, tradisi filsafat Islam bersumberkan pada wahyu. Dengan demikian, filsafat Islam adalah filsafat yang lahir dari pemahaman, penjelasan, dan pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Quran dan Sunnah.
Dalam sejarahnya, para ulama dan cendekiawam Muslim telah melakukan proses seleksi dan adapsi yang ketat terhadap pemikiran yang datang dari luar Islam.

Sejumlah ilmuwan seperti Ibn Sina, al-Kindi, dan al-Farabi, menerima filsafat Yunani dan berusaha memodifikasikannya agar sesuai dengan prinsip-prinsip penting dalam ajaran Islam. Al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi menerimanya sejauh masih sejalan dengan ajaran Islam dan menolak konsep-konsep yang bertentangan dengan Islam.
Ibn Taymiyah termasuk diantara penolak keras “filsafat”, tetapi ternyata juga menerima jenis filsafat tertentu, yang disebutnya al-falsafah al-shahihah (filsafat yang benar) dan al-falsafah al-haqiqiyah (filsafat yang sebenarnya).
Hamid Fahmy – yang telah menyelesaikan disertasi doktornya tentang ‘Teori Kausalitas al-Ghazali” di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur – mencatat, bahwa para ulama Islam menolak, menerima secara selektif atau menerima dan memodifikasi prinsip-prinsip filsafat Yunani, karena konsep-konsepnya yang tidak sejalan dengan konsep Islam.
Selain itu, mereka juga percaya akan adanya konsep Islam sendiri yang berbeda dengan konsep asing itu. Ini berarti, simpul Hamid Fahmy, para ulama memandang bahwa dalam Islam terdapat prinsip berfikir filosofisnya sendiri yang berbeda dari Yunani.
Jadi, sejak awal, umat Islam sudah memiliki tradisi berpikir sendiri yang berdasarkan wahyu, yang berbeda dengan tradisi berpikir Yunani. Sumber aspirasi yang asli dan riil dari para pemikir Muslim adalah Al-Quran dan Sunnah Rasul. Bahwa ada sebagian unsur asing yang kemudian diserap dalam khazanah pemikiran Islam, tetap diupayakan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam masalah Tuhan, manusia, dan alam semesta, para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam tradisi filsafat Yunani.
Mengambil contoh Kurikulum dan Silabi Kuliah Filsafat Islam terbitan Departemen Agama, Hamid menunjukkan, bahwa yang dimaksudkan sebagai “pemikiran filsafat Islam yang awal” dalam kurikulum ini adalah dimulai sejak masuknya pengaruh filsafat peripatetik Yunani ke dalam Islam. Artinya, filsafat Islam dianggap wujud hanya setelah datangnya pengaruh filsafat Yunani. Ha ini mendukung anggapan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat atau pemikiran filosofis. Model kajian seperti ini tidak akan memberi bekal kemampuan kepada mahasiswa untuk mengembangkan filsafat sains dalam Islam.
“Jika framework ini ditelusuri asal usulnya maka akan terungkap kesamaannya dengan framework yang dipegang secara meluas oleh para orientalis,” tulis Hamid Fahmy, yang juga Direktur Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), ISID Gontor.
Hasil riset Hamid Fahmy Zarkasyi tentang metode studi filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia ini sangat penting untuk ditelaah dan direnungkan secara mendalam.
Jauh sebelumnya, 30 tahun lalu, Prof. HM Rasjidi telah menunjukkan kuatnya pengaruh metode orientalis terhadap buku wajib dalam studi Islam di Indonesia, yakni buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”, karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi kemudian memberikan kritik-kritik yang tajam terhadap buku tersebut, bahwa buku itu merusak dan membahayakan aqidah Islam.
Tetapi, kritik-kritiknya tidak pernah didengar. Buku ini tetap dijadikan sebagai rujukan dalam studi Islam di Perguruan Tinggi, tanpa didampingi oleh buku Prof. Rasjidi: Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”.
Seperti pernah kita bahas, buku Harun Nasution ini memuat begitu banyak kesalahan fatal dan mendasar tentang Islam. Dalam aspek filsafat, Harun Nasution juga menulis: “Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir…Filosof kenamaan yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi.”
Dalam pemaparannya, Harun mengungkap berbagai perdebatan seputar isu-isu dalam kajian filsafat, tetapi tidak melakukan ‘tarjih’ terhadap pendapat yang benar. Bahkan ketika membahas pendapat seorang filosof yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam, Harun tidak memberikan kritik terhadapnya. Seperti ketika menjelaskan tentang filosof Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (864-925), Harun bahkan menulis, “Tetapi sungguhpun ia menentang agama-agama, al-Razi bukanlah seorang ateis. Ia tetap percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini.”
Padahal, ditulis oleh Harun: “Al-Razi adalah seorang rasionalis yang hanya percaya pada akal dan tidakpercaya pada wahyu. Menurut keyakinannya akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya Tuhan, apa yang baik dan apa yang buruk, dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Oleh karena itu Nabi dan Rasul tak perlu, bahkan ajaran-ajaran yang mereka bawa menimbulkan kekacauan dalam masyarakat manusia. Semua agama dia kritik. Al-Quran baik dalam bahasa maupun isinya bukanlah mu’jizat.”
Sebagai buku panduan untuk mahasiswa Muslim, harusnya Prof. Harun menjelaskan, bahwa pendapat Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (bukan Fakhruddin al-Razi) adalah keliru dan bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Harusnya, Prof. Harun tidak bersikap netral dalam hal-hal yang jelas-jelas salah. Bahkan, dalam uraiannya, Harun lebih cenderung mengunggulkan pendapat Ibnu Ruyd, ketimbang al-Ghazali. Dalam kritiknya, Rasjidi menyesalkan kecenderungan Harun untuk lebih menonjolkan pendapat Ibn Rusyd yang memberikan pembelaan kepada para filosof peripatetik dari kritikan al-Ghazali.
Kajian Harun tentang aspek filsafat dalam Islam, menurut Prof. Rasjidi, merupakan aspek yang sangat negatif, khususnya bagi mahasiswa IAIN tingkat pertama.
Dalam kritiknya, Rasjidi mengupas secara tajam kekeliruan pemikiran Ibnu Rusyd, al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Filsafat Islam, kata Prof. Rasjidi, adalah suatu usaha untuk mempertahankan aqidah Islam dengan mengambil bahan dari filsafat Yunani yang tidak bertentangan dengan Islam. Teori al-Farabi dan Ibnu Sina tentang emanasi (pancaran) bertentangan dengan Islam, yang menegaskan, bahwa Allah menciptakan alam dengan kemauan-Nya, bukan melalui pancaran. Meskipun mengakui kebaikan niat baik Ibnu Rusyd dalam membela filosof – yakni untuk menunjukkan bahwa Islam tidak bertentangan dengan akal – tetapi Rasjidi menilai teori Ibnu Rusjd tentang kekekalan alam sudah usang untuk abad ke-20. “Kelihatan sekali bahwa Dr. Harun Nasution tidak mengikuti perkembangan ilmu cosmology astrophysic, sehingga ia mempertahankan pendapat Ibnu Rusyd yang sudah usang itu,” tulis Prof. Rasjidi.
Itulah studi kritis Prof. Rasjidi terhadap aspek filsafat dalam buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya” karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi menulis kritiknya ini pada tahun 1975. Bisa dikatakan, kajian Hamid Fahmy Zarkasyi lebih maju selangkah lagi dari apa yang telah dilakukan oleh Prof. Rasjidi, karena Hamid Fahmy sudah menyentuh aspek “framework” dan cara pandang. Bahkan, Hamid menawarkan perspektif baru dalam studi filsafat Islam yang belum ditawarkan oleh Prof. Rasjidi sebelumnya.
Kajian-kajian ilmiah dan serius tentang berbagai bidang keilmuan Islam (Ulumuddin) saat ini merupakan proyek yang sangat mendesak bagi umat Islam. Apalagi, 30 tahun setelah benih orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution, cengkeraman orientalis dalam studi Islam sudah semakin merambah ke berbagai bidang studi-studi lain, baik dalam studi agama-agama maupun dalam studi Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya ‘proyek-proyek pesanan’ negara-negara dan LSM Barat dalam studi dan pemikiran Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan mata kuliah hermeneutika, misalnya, tidak bisa dianggap hal yang enteng.
Penggunaan epistemologi relatif dalam studi agama di Ushuluddin telah membongkar framework studi agama-agama dalam tradisi Islam yang berbasis pada keimaman Islam.
Ketika mengisi satu seminar di Yogyakarta pada 18 Agustus 2006 lalu, seorang peserta menyatakan, bahwa dalam studi ilmu-ilmu agama, metodologi Barat lebih baik dibandingkan dengan metodologi Islam. Pernyataan semacam ini sudah sering disampaikan dalam berbagai buku dan kesempatan. Padahal, biasanya yang mereka maksud dengan ‘metodologi’ yang baik adalah dalam soal teknik penulisan. Misalnya, karena banyak catatan kakinya, maka suatu tulisan disebut ilmiah dan bagus.
Kita tidak menolak metode semacam ini. Bahkan, perlu memberikan apresiasi terhadap ketekunan dankesungguhan para orientalis dalam melakukan penelitian dan penulisan tentang Islam. Terutama dengan kesungguhan mereka dalam menghimpun literatur-literatur Islam.
Tetapi, kita juga perlu senantisa kritis, bahwa dalam metodologi atau lebih tepatnya framework kajian agama, ada perbedaan yang mendasar antara Islam dengan para orientalis pada umumnya. Bagi seorang Muslim, belajar agama bertujuan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yang dapat meningkatkan iman dan ibadah kepada Allah. Sebab, tidaklah manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. (QS
51:56).
Seorang Muslim yakin, bahwa mencari ilmu itu sendiri adalah kewajiban dan merupakan ibadah. Karena itu, kita diajarkan untuk senantiasa berdoa, mudah-mudahan kita dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu yang manfaat adalah ilmu yang menghasilkan dan memperkuat keimanan, dan bukan ilmu yang menambah keraguan dan kebingungan, serta semakin menjauhkan diri dari ibadah kepada Allah.
Metode studi agama cara Islam ini tentu berbeda dengan metode para studi agama ‘gaya Barat’ yang lebih diarahkan untuk menjadi ‘ilmuwan dan pengamat keagamaan’. Karena itu, dalam model studi seperti ini, para dosen tidak mempersoalkan apakah mahasiswa itu sesat atau benar. Suatu skripsi atau tesis tetap diluluskan jika dianggap sudah memenuhi syarat metode penulisan ilmiah, tanpa peduli apakah karya ilmiah itu benar atau salah dari segi isinya dalam pandangan Islam. Bahkan, banyak yang sudah bersifat skeptis dan agnostik terhadap kebenaran, dengan menyatakan, bahwa manusia tidak akan tahu kebenaran sejati, yang tahu kebenaran hanya Allah. Tentu saja ini sangat keliru, sebab Allah telah menurunkan wahyu-Nya kepada manusia melalui Nabi dan Rasul dengan tujuan untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Kita berharap para dosen di perguruan tinggi Islam dan para pejabat Departemen Agama sadar akan amanah berat yang mereka pikul saat ini, sehingga mereka tidak bersantai-santai atau bermain-main dalam hal ilmu agama.
Mereka perlu sadar, bahwa upaya untuk meruntuhkan Islam yang sangat strategis adalah dengan cara merusak konsep-konsep keilmuan Islam. Itulah yang sejak berabad-abad lalu dilakukan oleh para orientalis.
Dalam pasal 2, Perpres No 11 tahun 1960, tentang pembentukan IAIN disebutkan, bahwa tujuan pembentukan IAIN adalah: “IAIN tersebut bermaksud untuk memberi pengadjaran tinggi dan mendjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang Agama Islam.”
Jadi, sesuai dengan niat mulia sejak awalnya, perguruan-perguruan tinggi Islam harus menjadi pusat pengembangan dan pendalaman ilmu tentang agama Islam. Tentu, sebagai umat Islam Indonesia, kita berharap, dari kampus-kampus ini lahir para cendekiawan dan ulama yang berilmu tinggi dan taat kepada Allah. Untuk itu, agar menjadi kampus Islam yang benar-benar sehat, segala macam jenis kuman dan virus-virus yang merusak ilmu-ilmu Islam harus mulai dikaji, diteliti, untuk selanjutnya ‘dijinakkan’ dan diamankan’.
Cita-cita mulia itu tidak akan terwujud, jika civitas academica di kampus Islam tidak bisa membedakan mana yang ‘obat’ dan mana yang ‘racun’; mana ilmu yang bermanfaat dan mana ilmu yang madharat. Jika tidak paham atau tidak peduli dengan masalah ini, bisa jadi, kampus yang semula didirikan dengan niat begitu mulia, akhirnya secara tidak sadar sudah dibajak oleh para orientalis. Wallahu a’lam.


Read More......

Dimanakah Letak Nuranimu?

Selasa, 31 Maret 2009

Sering kita berhadapan dengan segala macam dialektika kehidupan yang melahirkan nilai-nilai yang absurd, termasuk absurd bagi pribadi kita sendiri. Namun, dalam menjalani kehidupan dengan segala macam kekomplekkan permasalahannya tentu kita tidak akan pernah dapat hidup dalam bayang keabsurdan yang tiada kepastian di dalamnya.
Oleh sebab itu, merefleksikan diri kita dalam cermin hati merupakan sebuah proses dalam memilah dan memilih jalan hidup mana yang akan kita pilih. Hanya saja, jarang sekali kita melihat mereka yang mampu merefleksikan segala macam kejadian menjadi sebuah pembelajaran bagi kehidupan selanjutnya. Mungkin karena ketiadaan alat yang benar-benar mampu untuk menelanjangi diri kita, yang akan memberi gambaran utuh tentang siapa kita sebenarnya.
Peristiwa bencana alam Situ Gintung, Cirendeu, Ciputat. Seharusnya mampu mengembalikan pikiran dan ingatan kita untuk kembali berkaca, melihat sosok kita yang sebenarnya, kembali menyapa kita agar dapat melihat siapa dan seperti apakah sebenarnya makhluk yang bergenus manusia ini.

Namun, sekali lagi keajaiban itu kembali terjadi. Selang beberapa waktu setelah bencana berlalu, ribuan orang berduyun-duyun datang menengok lokasi bencana yang telah merengut ratusan jiwa manusia, dan menimbulkan kerugian materi yang tak terhingga, serta meninggalkan luka bathin yang menganga lebar bagi mereka yang terkena musibah itu. Kedatangan massa yang seharusnya menjadi pelipur lara, malah seakan menambah dalam luka tersebut.
Kedatangan masyarakat umum, sebagian besar bukanlah dengan tujuan untuk membantu proses evakuasi korban yang masih tertimbun tumpukan lumpur dan sampah yang mengunung, juga bukan untuk menyalurkan bantuan demi meringankan derita korban bencana Situ Gintung, melainkan menjadikan Situ Gintung menjadi lokasi tujuan wisata dadakan yang wajib untuk dikunjungi.
Beberapa hari setelah itu, Ada sebagian pejabat pemerintah yang kembali menggoreskan luka kemanusiaan bagi harga diri kita dengan mengeluarkan statement yang menyalahkan masyarakat yang tinggal di lingkungan yang lebih rendah dari lokasi danau Situ Gintung. Sebuah pernyataan yang sangat tidak bijak di tengah penderitaan masyarakat. Apalagi pernyataan tersebut keluar dari mulut para pemimpin yang seharusnya memberi perhatian lebih terhadap para korban.
Meminjam lirik gubahan Ebiet G. Ade, Mungkin alam sudah bosan melihat tingkah laku kita manusia. Maka ia marah dan meledak. Manusia yang mempunyai watak dekonstruktif, hidup dengan senantiasa saling menyakiti dan saling merusak, walau mereka sama sekali tidak pernah merasa melakukan hal tersebut.
Alam bagai sebuah mesin pengingat yang berusaha mengembalikan nilai manusia kepada derajat yang sebenarnya, dengan memberi signal peringatan betapa manusia sudah menjauh dari fitrahnya.
Tapi, dalam realitanya ternyata jauh panggang dari api. Jangankan menjadikan peristiwa sebagai sebuah cermin untuk kembali melahirkan sebuah kepedulian terhadap alam, untuk mewujudkan sebuah kepeduliaan kepada sesama manusia sekali pun, kita tidak mampu menghadirkannya.
Bagaimana bisa kita peduli terhadap alam, terhadap lingkungan? Pertanyaan tersebut kembali hadir bagaikan hujanan peluru yang tidak mampu kita hindari. Dan akankah kita mampu menjawab semua pertanyaan tersebut di sisa waktu yang sangat singkat ini?.
Dimanakah hati kita? Mengapa kita terlihat seakan lebih hina dari makhluk Tuhan yang lainnya. Hatta, makhluk yang benar-benar dihinakan oleh Tuhan sekali pun. Apa yang bisa kita pertanggung jawabkan ketika hari pembalasan itu tiba?.
Tidakkah kita mendengar firman Allah yang menyatakan? : Mereka mempunyai hati, tapi mereka tidak menggunakan hati mereka untuk memahami ayat-ayat Tuhan. Dan tidakkah kita membaca wasiat Rasul Sallallahu 'alaihi salam yang menyatakan : Bukanlah termasuk golongan kami (Muslim) mereka yang tidak peduli dengan segala urusan kaum muslimin. Wallahu a'lam.




Read More......

Bunuh Saja Sifat Latah mu!

Emang susah hidup ditengah masyarakat yang terjajah tapi merasa merdeka. Menikmati hidup layaknya terjun dalam sebuah mimpi indah, terbuai dengan segala macam kenikmatan semu yang terdapat dalam dimensinya. Terus bermimpi hingga saat terbangun, baru kita tersadar akan kehidupan dalam dunia nyata yang tidak seperti kita mimpikan.
Alkisah, disebuah negeri nun jauh disana, Palestina, sebuah dinegeri yang terluka oleh kebuasan bangsa Israel. Hidup seorang laki-laki bernama Hani Mustafa Basisu Ia adalah sosok pemuda yang dikenal dengan postur tubuh yang kerempeng untuk kalangan pemuda pada masanya. Namun, kecilnya bentuk fisik, ia tutupi dengan semangat juang yang sangat tinggi melawan penjajahan bangsa Israel.
Pada tahun 1947, saat itu ia baru menginjak usia 18 tahun. Ketika melihat relawan mujahidin yang sedang menggali parit di sebelah timur Gaza. Hani Basisu, berdiri dengan berani di depan kepala sekolah, meminta kepala sekolah mengizinkan para siswa membantu.

Meskipun kepala sekolah mengancam akan mengeluarkannya dari sekolah, ia tetap berdiri dengan berani menyampaikan tuntutan atas nama sekolahnya. Hingga akhirnya, kepala sekolah mengizinkan para siswa untuk turun bergabung dengan ribuan mujahidin lainnya.
Seorang sahabatnya, Hasan Abdul Hamid Shalih membuat sebuah kesaksian, “ ketika saya berdiri bersamanya, kepala sekolah mendekati kami dan mengancam Hani dengan ucapan, “Dengar wahai Hani, engkau harus bertanggung jawab atas keluarnya siswa dari kelas! Engkau mungkin akan di keluarkan dari Madrasah!” Hani menjawab ancaman itu dengan ungkapan, “sungguh satu kemulian, jika saya dikeluarkan dari Madrasah karena ikut serta melaksanakan tugas-tugas tanah air bersama rekan-rekanku. Bahkan, ini penghargaan nasional pertama yang diberikan negaraku”. (lihat: Mereka yang Telah Pergi, al I'tishom).
Hani Basisu dan sejarah perjuangnya memang begitu jauh dari kita. Namun, semangat dan idealismenya menembus dimensi keabadian dan sekat-sekat zaman. Ia mewariskan simpul-simpul perjuangan yang akan selalu diwarisi oleh generasi penerus setelahnya.
Kisah seorang Hani Basisu adalah sejarah tentang pilihan untuk bangun. Ia sosok yang memilih bangun dari buaian mimpi gemerlap dunia demi memperjuangkan sebuah cita. Dikeluarkan dari sekolah, kehilangan masa depan, bahkan ia bisa saja kehilangan nyawanya dengan pilihan ini. Pilihan yang tumbuh dari sebuah cita-cita, bukan sebuah pilihan yang dipengaruhi oleh budaya massa. Juga bukan sebuah rajutan semangat yang berdiri diatas kelatahan pemuda Palestina waktu itu.
Berbanding terbalik dengan Hani Basisu, potret pemuda negeri ini justru terjebak dalam euforia budaya kontemporer yang berkembang. Mencoba mengikuti jejak sukses para pendahulu, malah terjebak dalam romantisme yang tak berdasar. Memilih jalan hanya karena hasrat latah yang meledak-ledak dalam jiwa mereka.
Latah yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), didefenisikan dengan ; Menderita sakit saraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain. Baru tau kan? Kalo ternyata latah itu salah satu jenis penyakit jiwa. Penderitanya boleh di sebut kurang waras, atau dalam bahasa yang lebih membumi, orang gila.
Jika Departemen Kesehatan (DepKes) serius menanggapi latah sebagai penyakit jiwa. Yakin deh, mereka akan membuat sebuah laporan panjang berisikan data-data orang Indonesia yang snewen, juga laporan tentang daerah-daerah kantong penyakit yang sudah sampai pada tingkat endemi.
Dan ironisnya lagi, virus latah sekarang sedang menjangkiti hampir setiap individu di negera kita tercinta Indonesia. Ada berbagai macam kelatahan yang tengah mengerogoti jiwa masyarakat kita saat ini. Mulai dari hal yang kecil, seperti latah mengucapkan kata-kata kotor, latah dalam berpakaian. Hingga latah yang meningkat ke level tinggi dikit, seperti latah dalam berpolitik, atau latah ketingkat yang lebih tinggi lagi, seperti latah percaya kepada “Batu Petir” nya Ponari mampu menyembuhkan pelbagai jenis penyakit.
Penyakit jiwa jenis ini, memang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat kita. Namun, apabila kita lebih cermat dalam melihatnya, kita akan menemukan banyak efek negatif. Dalam dunia psikologi sifat latah seperti ini akan merusak mentalitas para pengidapnya. Dan dalam pandangan agama, sebagian prilaku yang kayak gini, bisa menjatuhkan seseorang pada kubangan dosa yang menyebabkan kemurkaan dari Allah.
Dalam kultur budaya kita, tutur kata yang halus serta cara berpakaian yang sopan merupakan sebuah produk asli bangsa Indonesia. Ketika mendengar atau melihat sebuah produk budaya yang kontra dengan nilai-nilai budaya asli kita, maka prilaku meniru adalah sebuah “pengkhianatan”.
Kita boleh mengikuti kekinian, tapi jangan pernah menghilangkan keaslian. Interaksi lintas budaya merupakan sebuah ketakterhindaran yang pasti kita hadapi. Hanya saja, diperlukan kejernihan nurani dalam menyikapinya. Wallahu a'lam bisshawwab.



Read More......

Opera Bus Transjakarta

Sabtu, 28 Maret 2009

Setiap hari Sabtu sebuah rutinitas yang tak pernah saya lewatkan adalah menaiki Bus Transjakata jurusan Ragunan-Latuharhari, kemudian transit di halte Halimun untuk seterusnya naik lagi lagi jurusan Pulo Gadung, hingga akhirnya saya turun di Halte TU Gas. Bus Transjakarta merupakan salah satu alat transportasi favorit saya, karena setiap hari Sabtu ia merupakan sahabat yang sangat baik bagi saya, memberi saya kenyamanan, menghindarkan diri terjebak dalam kemacetan lalu lintas di ibukota yang tak pernah hilang barang sekejap.
Di dalam Bus yang mampu mengangkut penumpang dengan kapasitas sampai 82 orang ini, suasana nyaman sangatlah terasa, AC Bus yang tak pernah berhenti menyala, mampu mensterilkan karbondioksida yang tak pernah berhenti keluar dari mulut para penumpang. Tempat duduk yang nyaman juga merupakan salah satu fasilitas yang ditawarkan yang mampu membuat para penumpang sangatlah antusias dalam perburuan demi mendapatkannya. Pengamen jalanan yang sering memberi tekanan bathin bagi setiap penumpang bus kota juga tidak akan pernah kita temui disini.
Selain berfungsi sebagai salah satu fasilitas yang mengakomodir kenyamanan bagi masyarakat, Bus Transjakarta merupakan tempat persinggungan antara komunitas sosial masyarakat, tidak ada hierarki, ataupun strata sosial yang mewajibkan masyarakat kelas kedua untuk menyembah mereka yang dari kelas satu. Semuanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai penumpang.

Namun ironisnya, kadang kenyamanan yang didapatkan malah sering membuat diri kita lupa tentang identitas diri kita yang sebenarnya. Kursi yang empuk malah menjadikan kita kehilangan budaya timur yang sangat kita banggakan. Ketiadaan pengamen jalanan yang melirik tajam penuh makna terhadap perhiasan dan barang-barang berharga yang kita kenakan, malah menjadikan kita pribadi-pribadi sombong dengan segala kemewahan yang kita miliki. Pandangan sinis nan merendahkan seperti sudah menjadi bagian dari pribadi kita.
Alkisah, Pada suatu Sabtu sore, dalam perjalanan dari TU Gas menuju Halimun, saya yang saat itu tidak kebagiaan tempat duduk, berdiri menggantung didepan seorang pemuda yang berpenampilan necis yang sedang menikmati kursi hasil perburuaannya. Sambil menyumbat kedua telinganya dengan sebuah alat pemutar musik, Tampak sekali wajah penuh kenyamanan diwajahnya.
Sesaat kemudian, setelah melewati beberapa halte. Di sebuah halte naiklah seorang perempuan tua sambil menjinjing sebuah keranjang, tampak sekali wajah yang kontras dengan laki-laki yang sedang duduk tadi. Wajah yang terlihat lelah setelah menjalani runtinitas mencari sesuap nasi demi anak-anaknya yang telah menunggu dirumah.
Dengan wajah memelas sang ibu kemudian memberanikan diri mendekati sang pemuda, dengan sedikit sentuhan dia memohon belas kasihan agar sang pemuda mau memberikan tempat duduk kepadanya. Sungguh sangat menyedihkan, sang pemuda hanya diam tak peduli dengan sang ibu, hingga akhirnya sang ibu harus berdiri sampai ia turun di Matraman.
Kemudian saya melanjutkan perjalanan dari Halimun menuju Ragunan. Tapi, karena banyak ibu-ibu yang naik di Dukuh Atas akhirnya saya memberikan tempat duduk kepada salah seorang dari mereka.
Bus bergerak menuju Ragunan, dalam perjalanannya, naik seorang wanita yang sedang menggendong seorang balita. Mungkin karena sudah biasa tidak peduli dengan orang lain, si ibu juga seakan tidak menunjukan sikap memohon tempat duduk kepada penumpang lain. Tapi, diwajahnya terlihat jelas, betapa ia sangat kelelahan mengendong sang bayi sambil berdiri di dalam Bus. Ironisnya lagi, juga tidak seorang penumpangpun yang menawarkan tempat duduk untuk sang ibu.
Turun dari Bus Transjakarta, saya merenungkan kembali beberapa kejadian yang telah saya temui hari ini. Betapa anehnya perkembangan kebudayaan manusia, sering sekali kita melihat dan mendengar orang-orang berteriak mengajak untuk saling peduli, peduli terhadap sesama, peduli terhadap binatang langka, peduli terhadap alam. Namun, realita yang kita temukan sangatlah memiriskan hati. Orang-orang berlomba menyumbat telinga sebagai simbol ketidakpedulian mereka dengan keadaan sekitar, menutup mata dengan kacamata kesombongan terhadap apa yang mereka miliki.
Pertanyaanya, apakah kita mesti hidup dalam kesengsaraan untuk kembali menumbuhkan sikap peduli, seperti halnya ketika negeri ini sedang dijajah? Adakah rasa kepedulian masih hidup dalam nurani kita? Bagaimanakah kongkretnya kepedulian itu ada?
Sudah saatnya pertanyaan tersebut kembali kita renungkan, untuk membangkitkan kepedulian dan kearifan lokal yang telah lama mati suri. Bukan sekedar slogan, tapi sesuatu yang dapat kita nikmati. Yang kita butuhkan bukanlah mereka yang berteriak, tapi adalah mereka yang betindak. Agar kematian budaya Bangsa yang kita banggakan ini tidak pernah kita temui. [no_free_en]



Read More......