Dimanakah Letak Nuranimu?

Sering kita berhadapan dengan segala macam dialektika kehidupan yang melahirkan nilai-nilai yang absurd, termasuk absurd bagi pribadi kita sendiri. Namun, dalam menjalani kehidupan dengan segala macam kekomplekkan permasalahannya tentu kita tidak akan pernah dapat hidup dalam bayang keabsurdan yang tiada kepastian di dalamnya.
Oleh sebab itu, merefleksikan diri kita dalam cermin hati merupakan sebuah proses dalam memilah dan memilih jalan hidup mana yang akan kita pilih. Hanya saja, jarang sekali kita melihat mereka yang mampu merefleksikan segala macam kejadian menjadi sebuah pembelajaran bagi kehidupan selanjutnya. Mungkin karena ketiadaan alat yang benar-benar mampu untuk menelanjangi diri kita, yang akan memberi gambaran utuh tentang siapa kita sebenarnya.
Peristiwa bencana alam Situ Gintung, Cirendeu, Ciputat. Seharusnya mampu mengembalikan pikiran dan ingatan kita untuk kembali berkaca, melihat sosok kita yang sebenarnya, kembali menyapa kita agar dapat melihat siapa dan seperti apakah sebenarnya makhluk yang bergenus manusia ini.

Namun, sekali lagi keajaiban itu kembali terjadi. Selang beberapa waktu setelah bencana berlalu, ribuan orang berduyun-duyun datang menengok lokasi bencana yang telah merengut ratusan jiwa manusia, dan menimbulkan kerugian materi yang tak terhingga, serta meninggalkan luka bathin yang menganga lebar bagi mereka yang terkena musibah itu. Kedatangan massa yang seharusnya menjadi pelipur lara, malah seakan menambah dalam luka tersebut.
Kedatangan masyarakat umum, sebagian besar bukanlah dengan tujuan untuk membantu proses evakuasi korban yang masih tertimbun tumpukan lumpur dan sampah yang mengunung, juga bukan untuk menyalurkan bantuan demi meringankan derita korban bencana Situ Gintung, melainkan menjadikan Situ Gintung menjadi lokasi tujuan wisata dadakan yang wajib untuk dikunjungi.
Beberapa hari setelah itu, Ada sebagian pejabat pemerintah yang kembali menggoreskan luka kemanusiaan bagi harga diri kita dengan mengeluarkan statement yang menyalahkan masyarakat yang tinggal di lingkungan yang lebih rendah dari lokasi danau Situ Gintung. Sebuah pernyataan yang sangat tidak bijak di tengah penderitaan masyarakat. Apalagi pernyataan tersebut keluar dari mulut para pemimpin yang seharusnya memberi perhatian lebih terhadap para korban.
Meminjam lirik gubahan Ebiet G. Ade, Mungkin alam sudah bosan melihat tingkah laku kita manusia. Maka ia marah dan meledak. Manusia yang mempunyai watak dekonstruktif, hidup dengan senantiasa saling menyakiti dan saling merusak, walau mereka sama sekali tidak pernah merasa melakukan hal tersebut.
Alam bagai sebuah mesin pengingat yang berusaha mengembalikan nilai manusia kepada derajat yang sebenarnya, dengan memberi signal peringatan betapa manusia sudah menjauh dari fitrahnya.
Tapi, dalam realitanya ternyata jauh panggang dari api. Jangankan menjadikan peristiwa sebagai sebuah cermin untuk kembali melahirkan sebuah kepedulian terhadap alam, untuk mewujudkan sebuah kepeduliaan kepada sesama manusia sekali pun, kita tidak mampu menghadirkannya.
Bagaimana bisa kita peduli terhadap alam, terhadap lingkungan? Pertanyaan tersebut kembali hadir bagaikan hujanan peluru yang tidak mampu kita hindari. Dan akankah kita mampu menjawab semua pertanyaan tersebut di sisa waktu yang sangat singkat ini?.
Dimanakah hati kita? Mengapa kita terlihat seakan lebih hina dari makhluk Tuhan yang lainnya. Hatta, makhluk yang benar-benar dihinakan oleh Tuhan sekali pun. Apa yang bisa kita pertanggung jawabkan ketika hari pembalasan itu tiba?.
Tidakkah kita mendengar firman Allah yang menyatakan? : Mereka mempunyai hati, tapi mereka tidak menggunakan hati mereka untuk memahami ayat-ayat Tuhan. Dan tidakkah kita membaca wasiat Rasul Sallallahu 'alaihi salam yang menyatakan : Bukanlah termasuk golongan kami (Muslim) mereka yang tidak peduli dengan segala urusan kaum muslimin. Wallahu a'lam.




0 Comments: