Naif...

Adakah orang yang bisa mengajariku tentang kenaifan? Mengenalkan kepada diri ini tentang arti naif? Agar suatu saat, diri ini bisa menerima (legowo) atas semua yang kulihat, yang kurasakan, dan semua yang terjadi dalam diriku ini. Dan menjadikan diriku tidak lagi mempermasalahkan segala sesuatu yang selama ini selalu saja aku anggap sebagai masalah. Sehingga tidak ada lagi perlawanan, tidak ada lagi perjuangan, dan tiada lagi hasrat untuk berbicara.
Apakah salah bila aku berbicara, bertingkah, melawan terhadap benda yang ku anggap sebagai masalah? Apakah terlalu berlebihan jika aku mengkritik keterlambatan seseorang memenuhi janjinya? Dan apakah salah jika aku enggan untuk berbicara dengan orang-orang yang punya masalah “serius” dengan diriku?
Kemaren,(10/01) Aku naik bus Transjakarta jurusan dukuh atas - pulo gadung. Seyogyanya kaki ini melangkah turun di halte TU gas karena dari sini, juga mesti melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus kota lainnya (metromini) ke tempat tujuan. Namun, hal yang terjadi sungguh diluar dugaan. Aku melewati halte di tempat yang seharusnya aku turun.
Sebenarnya aku sudah akan melangkah turun di halte TU gas, tapi ketika hendak melangkah turun, microphone yang biasanya memberi panduan kepada penumpang tentang halte tempat berhenti berikutnya justru mengatakan bahwa bus akan berhenti di Halte Layur, jadi aku memutuskan untuk terus. Namun apa dikata, tempat yang dikatakan sebagai halte layur adalah halte dimana aku seharusnya turun.

Apakah salah? Jika aku menyalahkan awak bus yang kurang profesional dalam menjalankan tugasnya. Bukankah para awak bertugas untuk melayani penumpang dengan layanan maksimal? Dalam hal ini mereka berkewajiban untuk memberikan infomasi yang akurat kepada para pengguna layanan transportasi bus transjakarta. Sekali lagi apakah aku salah mempertanyakan ini?
Belum lagi hilang perasaan yang campur aduk ini. Aku kembali dihadapkan dengan masalah yang kembali mengocok isi kepala. Menurut jadwalnya, hari ini aku akan mempresentasikan makalah yang sudah sebulan belakangan ini aku persiapkan. Namun, ketika berada dikampus, tiba-tiba teman satu kelompokku mengatakan bahwasanya hari ini dia belum siap dalam mempresentasikan makalah tersebut. Belakangan ini, dia sangat sibuk dengan seabrek kegiatan yang tak bisa ditinggalkan, sehingga makalah yang sudah dipersiapkan tidak sempat dia baca. Dan apakah juga sesuatu yang berlebihan jika aku mempertanyakan tanggung jawabnya sebagai anggota sebuah tim. Apakah tidak wajar jika aku kecewa? Apakah memuakkan sikapku ini?
Tampaknya, hari ini menjadi hari yang kurangbaik bagiku. Jam pelajaran terakhir, seorang dosen capita selecta masuk kekelas. Belum sempat duduk, dia sudah menyebutkan topik pembahasan hari ini. Namun, setelah bebicara beberapa menit, hal-hal yang dia sampaikan sama sekali tidak berhubungan dengan topik yang telah dia sebutkan di awal. Kondisi ini membuat aku benar-benar tidak habis pikir. Kenapa ini semua bisa terjadi? Bukankah seorang dosen sadar bahwasanya yang dia ajar adalah orang-orang yang sedikit banyaknya sudah punya pengalaman belajar, sudah bisa menilai kredibelitas seseorang hanya lewat cara dia bicara. Terus, kenapa sang dosen bertingkah seakan yang dia ajari adalah seorang anak SD. Apakah salah jika aku mempertanyakan kredibel dan kapasitas dia sebagai seorang dosen?!
Mengajari kamu tentang kenaifan? Bukanlah sesuatu hal yang mustahil! Tapi, apakah kamu sanggup hidup dengan sikap naif? Menerima setiap perlakuan yang menimpa dirimu! Tidak peduli baik atau buruknya perlakuan tersebut. Apakah kamu sanggup???
Tidak!!! Mungkin memang takdirku untuk lahir bukan sebagai seorang yang naif. Memandang terhadap sesuatu yang bagi orang lain biasa, namun bagiku adalah sebuah hal yang luar biasa. Bahkan permen seharga puluhan rupiah yang diberikan seorang kasir mall ketika kembali uang receh yang tak ada, ku anggap sebagai pemerasan. Dan bagaimanakah terhadap sesuatu hal yang lebih nyata penyimpangan dan penyelewengannya…???
Maaf…!!! Saya memang tidak bisa bersikap naif…[no_free_an]


0 Comments: