Hipokrit, Satu Kepala Dua Wajah

“kRn ti sLLu bs nYmpn rs kCewa, keSal, sEdih t-w dibalik snYum t-w,,,
“mNgkin org brfkr klo ti sNg trz,,, Pi sBnr ny g,,,”

-hypocrite-grlz-

Inilah sebuah jawaban dari seseorang wanita ketika saya bertanya tentang makna hypocrite yang dia tulis dalam friendsternya. Jawaban yang sederhana, mungkin sesederhana orangnya. Tapi, apakah semua orang bisa berfikir sesederhana dia atau juga sesederhana cara berpikir berjuta-juta wanita lainnya?
Impossible!!! Saya berani memberi jawaban seperti ini bukanlah sebuah apresiasi tak berdasar atas ketidak setujuan saya terhadap terminologi dia dalam memahami kata hipokrit. Tetapi, ini adalah sebuah jawaban berdasarkan pada rumusan dan teminologi hipokrit yang saya dapatkan dalam kamus dan sumber lainnya.
Bagaimana dengan wanita yang menampilkan sosok berbeda ketika tampil dihadapan orang lain dengan apa yang sedang mereka rasakan? Diantara sifat-sifat wanita adalah, mereka mempunyai kekuatan yang mempesona, mereka dapat mengatasi beban bahkan melebihi laki-laki, wanita mampu menyimpan kebahagian dan pendapatnya sendiri, wanita mampu tersenyum bahkan saat hati mereka menjerit, wanita mampu bernyanyi saat menangis, menangis saat terharu, bahkan tertawa saat ketakutan, mereka mampu berkorban demi orang yang dicintainya, mampu berdiri melawan ketidakadilan, mereka selalu punya kekuatan untuk mengatasi hidup, mereka gembira dan bersorak saat melihat kawannya tertawa. Semua itu bukanlah sebuah kepalsuaan dan kepura-puraan. Tapi, itulah keistimewaan yang mereka miliki dan tidak dimiliki oleh makluk laki-laki manapun.

Wanita yang mempunyai karakter seperti ini bukan Hypocrite, Tapi istimewa… Namun, mereka juga termasuk kategori hipokrit ketika mereka mempunyai sifat dan ciri seperti,,,

Dalam “Oxford Learner’s Dictionary” hypocrite; person who make himself or herself appear better than they really are.

Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” hipokrit atau munafik; berpura-pura percaya atau setia tetapi hatinya tidak. Suka mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya.

Bingung… itulah yang saya rasakan ketika akan melanjutkan tulisan ini. Saya bingung dengan apa dan darimana saya harus meneruskannya. Setelah berpikir, saya memutuskan memulainya lagi dengan mengutip paragaf pembuka kata pengantar Yasraf Amir Piliang dalam bukunya yang bejudul “Hipersemioitka, tafsir cultural studies atas matinya makna”;
“Ada sebuah ruang dalam kebudayaan,yang didalamnya kedustaan, yang dikemas dengan sebuah kemasan yang menarik, dapat berubah menjadi kebenaran; sebuah kepalsuan, yang di tampilkan lewat teknik penampakan dan pencitraan yang sempurna, dapat tampak sebagai keaslian;… inilah sebuah dunia, yang didalamnya kebenaran tumpang tindih dengan kedustaan, keaslian silang menyilang dengan kepalsuan, realitas bercampur aduk dengan ilusi, kejahatan melebur dalam kemuliaan, sehingga diantara keduanya seakan-akan tidak ada lagi ruang pembatas”
Perkiraan saya inilah puisi terindah yang pernah saya dengar; gambaran kehidupan masyarakat dunia saat ini. Sebuah deskripsi peradaban manusia postmodern yang tengah kita jalani. Sebuah realitas kegelapan yang tengah menyelimuti manusia. Dunia yang dipenuhi dengan segala kemunafikan dan kepalsuan.
Di era reformasi yang seharusnya membawa angin perubahan kearah kebaikan. Namun, justru yang kita temui adalah sebuah kenyataan pahit kehidupan. Pemberantasan kejahatan, justru melahirkan kreativitas baru agar prilaku jahat tidak di ketahui orang lain. Semua tingkah laku jahat dikemas dan dibungkus dengan sampul “kebaikan” yang mematikan.
Sedikit bercerita, beberapa bulan yang lalu saya pernah hadir dalam acara temu penulis dengan seorang penulis berkebangsaan mesir di kantor kedutaan mesir di jln Teungku Umar, Jakarta. Diantara mereka yang hadir terdapat beberapa orang tokoh, penulis dan wartawan terkenal; M. Fajroel Rahman, ketua lembaga pengkajian demokrasi dan negara kesejahteraan (Pedoman Indonesia), ketua Gerakan Nasional Calon Independen. Juga hadir M. Guntur Romli seorang wartawan yang terkenal dalam kekritisannya dalam menyikapi setiap problem kebangsaan dan keberagaman masyarakat indonesia, juga termasuk orang terdekat Gus Dur. Dan masih banyak yang lainnya seperti Bapak Ali Mustafa Ya’kub dari MUI, juga seorang wartawan senior dari the Jakarta Post. Bagi saya keberadaan mereka jauh lebih menarik daripada orasi sastra yang di sampaikan dalam bahasa inggris yang tidak saya mengerti.
Sehabis orasi sastra para undangan disuguhi hidangan masakan timur tengah yang mak nyus. Namun, yang sangat saya sayangkan adalah bagaimana cara mereka makan, mungkin karena sudah terbiasa menghadiri standing party mereka menyantap makanan tersebut sambil berdiri, sehingga kursi yang tersedia tidak terisi hanya sedikit diantara mereka yang makan sambil duduk dan salah satunya adalah bapak Kiyai Haji Ali Mustafa Ya’kub. Umumnya mereka makan sambil berdiri dan berjalan mondar mandir termasuk Guntur Romli dan Fajroel Rachman.
Orang-orang selama ini saya lihat mengobral kekritisan mereka tentang kondisi negeri ini di TV. Mereka berbicara tentang kreativitas yang di anggap subversi, appreasiasi seni yang terpenjara dalam sekat doktrin agama sepihak, hak asasi manusia yang terkebiri, berbagai macam kritik terhadap politikus yang hanya menebar janji tanpa bukti, namun hari itu mereka tampil dengan wajah lain dari yang selama ini saya saksikan di TV, juga sangat berbeda dengan yang sosok yang selama ini saya kenal lewat karya tulis mereka. Sekarang mereka tampil laksana pribadi utuh dengan apa yang mereka kritisi selama ini, kritik itu tergambar dalam keseharian dan pola mereka.
Melalui media elektronik dan media massa lainnya, mereka tampil bak pahlawan pembela kepentingan masyarakat,tapi sedikit saja mereka luput dari pengamatan media mereka kembali menjadi penentang idealis mereka sendiri. Ironis…
Terakhir saya mengutip perkataan M.Irfan Hidayatullah, “permasalahan serius sebenarnya adalah tragedi ironi. Saat orang ingin berbuat banyak tetapi keseharianya tepisah dari apa yang dia tuliskan dan idealkan. Lalu apa yang di cari dari sebuah kekritisan? Identitas-identitas kita sempurna terpecah bahkan pada orang yang seharusnya utuh…”



0 Comments: