Bunuh Saja Sifat Latah mu!

Emang susah hidup ditengah masyarakat yang terjajah tapi merasa merdeka. Menikmati hidup layaknya terjun dalam sebuah mimpi indah, terbuai dengan segala macam kenikmatan semu yang terdapat dalam dimensinya. Terus bermimpi hingga saat terbangun, baru kita tersadar akan kehidupan dalam dunia nyata yang tidak seperti kita mimpikan.
Alkisah, disebuah negeri nun jauh disana, Palestina, sebuah dinegeri yang terluka oleh kebuasan bangsa Israel. Hidup seorang laki-laki bernama Hani Mustafa Basisu Ia adalah sosok pemuda yang dikenal dengan postur tubuh yang kerempeng untuk kalangan pemuda pada masanya. Namun, kecilnya bentuk fisik, ia tutupi dengan semangat juang yang sangat tinggi melawan penjajahan bangsa Israel.
Pada tahun 1947, saat itu ia baru menginjak usia 18 tahun. Ketika melihat relawan mujahidin yang sedang menggali parit di sebelah timur Gaza. Hani Basisu, berdiri dengan berani di depan kepala sekolah, meminta kepala sekolah mengizinkan para siswa membantu.

Meskipun kepala sekolah mengancam akan mengeluarkannya dari sekolah, ia tetap berdiri dengan berani menyampaikan tuntutan atas nama sekolahnya. Hingga akhirnya, kepala sekolah mengizinkan para siswa untuk turun bergabung dengan ribuan mujahidin lainnya.
Seorang sahabatnya, Hasan Abdul Hamid Shalih membuat sebuah kesaksian, “ ketika saya berdiri bersamanya, kepala sekolah mendekati kami dan mengancam Hani dengan ucapan, “Dengar wahai Hani, engkau harus bertanggung jawab atas keluarnya siswa dari kelas! Engkau mungkin akan di keluarkan dari Madrasah!” Hani menjawab ancaman itu dengan ungkapan, “sungguh satu kemulian, jika saya dikeluarkan dari Madrasah karena ikut serta melaksanakan tugas-tugas tanah air bersama rekan-rekanku. Bahkan, ini penghargaan nasional pertama yang diberikan negaraku”. (lihat: Mereka yang Telah Pergi, al I'tishom).
Hani Basisu dan sejarah perjuangnya memang begitu jauh dari kita. Namun, semangat dan idealismenya menembus dimensi keabadian dan sekat-sekat zaman. Ia mewariskan simpul-simpul perjuangan yang akan selalu diwarisi oleh generasi penerus setelahnya.
Kisah seorang Hani Basisu adalah sejarah tentang pilihan untuk bangun. Ia sosok yang memilih bangun dari buaian mimpi gemerlap dunia demi memperjuangkan sebuah cita. Dikeluarkan dari sekolah, kehilangan masa depan, bahkan ia bisa saja kehilangan nyawanya dengan pilihan ini. Pilihan yang tumbuh dari sebuah cita-cita, bukan sebuah pilihan yang dipengaruhi oleh budaya massa. Juga bukan sebuah rajutan semangat yang berdiri diatas kelatahan pemuda Palestina waktu itu.
Berbanding terbalik dengan Hani Basisu, potret pemuda negeri ini justru terjebak dalam euforia budaya kontemporer yang berkembang. Mencoba mengikuti jejak sukses para pendahulu, malah terjebak dalam romantisme yang tak berdasar. Memilih jalan hanya karena hasrat latah yang meledak-ledak dalam jiwa mereka.
Latah yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), didefenisikan dengan ; Menderita sakit saraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain. Baru tau kan? Kalo ternyata latah itu salah satu jenis penyakit jiwa. Penderitanya boleh di sebut kurang waras, atau dalam bahasa yang lebih membumi, orang gila.
Jika Departemen Kesehatan (DepKes) serius menanggapi latah sebagai penyakit jiwa. Yakin deh, mereka akan membuat sebuah laporan panjang berisikan data-data orang Indonesia yang snewen, juga laporan tentang daerah-daerah kantong penyakit yang sudah sampai pada tingkat endemi.
Dan ironisnya lagi, virus latah sekarang sedang menjangkiti hampir setiap individu di negera kita tercinta Indonesia. Ada berbagai macam kelatahan yang tengah mengerogoti jiwa masyarakat kita saat ini. Mulai dari hal yang kecil, seperti latah mengucapkan kata-kata kotor, latah dalam berpakaian. Hingga latah yang meningkat ke level tinggi dikit, seperti latah dalam berpolitik, atau latah ketingkat yang lebih tinggi lagi, seperti latah percaya kepada “Batu Petir” nya Ponari mampu menyembuhkan pelbagai jenis penyakit.
Penyakit jiwa jenis ini, memang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat kita. Namun, apabila kita lebih cermat dalam melihatnya, kita akan menemukan banyak efek negatif. Dalam dunia psikologi sifat latah seperti ini akan merusak mentalitas para pengidapnya. Dan dalam pandangan agama, sebagian prilaku yang kayak gini, bisa menjatuhkan seseorang pada kubangan dosa yang menyebabkan kemurkaan dari Allah.
Dalam kultur budaya kita, tutur kata yang halus serta cara berpakaian yang sopan merupakan sebuah produk asli bangsa Indonesia. Ketika mendengar atau melihat sebuah produk budaya yang kontra dengan nilai-nilai budaya asli kita, maka prilaku meniru adalah sebuah “pengkhianatan”.
Kita boleh mengikuti kekinian, tapi jangan pernah menghilangkan keaslian. Interaksi lintas budaya merupakan sebuah ketakterhindaran yang pasti kita hadapi. Hanya saja, diperlukan kejernihan nurani dalam menyikapinya. Wallahu a'lam bisshawwab.



0 Comments: