Ruang Yang Telah Hilang

Ada seorang pangeran kecil dengan makhkota ajaibnya dan penyihir jahat menculiknya, mengurungnya di menara, membuatnya jadi bisu. Di menara itu ada jendela berterali besi dan pangeran kecil itu membenturkan kepalanya ke terali, berharap seseorang akan menengar suaranya dan menemukannya. Mahkota itu membuat suara terindah yang pernah didengar orang. Suaranya menggema sampai jauh. Begitu indahnya suara tersebut sehingga orang ingin menangkap udara. Mereka tak menemukan sang pangeran, tak pernah menemukan kamarnya, tapi suara itu memenuhi hati setiap orang dengan keindahan. (Alfathri Alin, editor jalasutra).
Setelah membaca paragraf pertama dari catatan editor buku berjudul 'Hipersemiotika, tafsir cultural studies atas matinya makna' karangan Yasraf Amir Piliang, sejenak saya terbuai dengan keindahan kata yang digoreskan pena sang editor. Terbang dalam keindahan susunan kalimat yang membutakan mata hati untuk melihat pesan yang akan disampaikannya. Saya terpesona layaknya para penduduk kerajaan yang tidak lagi mencari makna yang ada dari alunan suara benturan kepala pangeran ketika berbenturan dengan terali besi.

Dan layaknya seperti sebuah mimpi, ketika terbangun saya sadar akan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Membawa saya untuk melihat dunia dalam perspektif yang berbeda. Mencoba menilai kebudayaan masyarakat dalam dari sudut pandang yang sedikit orang yang menggunakannya. Menunutut saya menjadi penduduk kerajaan yang akan memahami perasaan sedih sang pangeran dan membebaskanya dari penjara penyihir jahat.
Oleh sebab itu, saya menghadirkan ceritera tersebut dalam versi penduduk dihabitat ruang modern saat ini. Bukan tentang penderitaan seorang pangeran kecil yang ditawan oleh penyihir jahat, tetapi tentang penderitaan yang saat ini semua anak bergenus manusia tersiksa dan terpenjara olehnya.
Saat mata hati dibutakan oleh kesenangan semu yang ditawarkan oleh berbagai macam rekayasa teknologi informasi. Kesenangan yang hanya dapat dinikmati dalam sejenak saja, namun pada hakikatnya adalah sebuah kehancuran yang besar telah berada dipelupuk mata kita.
Perangkat teknologi audiovisual seakan telah menjadi sebuah kebutuhan primer manusia modern pada zaman ini. Kecanggihan yang ditawarkan olehnya tidak lagi sebagai sebuah hiburan. Namun ia telah bermutasi menjadi makhluk yang sangat berpengaruh dalam proses pembentukan pola pikir dan tingkah laku manusia.
Pada dasarnya, segala macam pencapain manusia dalam bidang teknologi bukanlah sebuah kekeliruan yang mengakibatkan sebuah kefatalan. Namun, tendensi-tendensi busuk yang lahir dari rahim tangan-tangan kotor manusia telah menjadikan semua itu layaknya sebuah virus yang akan mengacaukan segala macam bentuk keharmonian yang ada dalam peradaban manusia.
Setiap detik otak manusia dibombardir oleh milyaran informasi yang bersiliweran. Sedangkan dalam teori fisika quantum dijelaskan, sebuah otak manusia mampu memproduksi rata-rata 14 ribu pemikiran perhari, 5 juta pertahun, 350 juta selama hidupnya. Dan untuk tetap dalam keadaan waras maka mayoritas pemikiran tersebut hanya berupa pengulangan.
Oleh karenanya, sistem otak manusia hampir setiap saat berada dipercabangan menuju bifurkasi (percabangan yang berpengaruh positif/negatif). Satu turbulen kecil berasal dari kamulasi keresahan akan membawa manusia pada tingkatan kritis yang bisa menjadikannya apa saja.
Teknologi audiovisual sebagian besar menyajikan sebuah produk budaya yang sangat primitif. Menampilkan segala macam adegan kekerasan dan iklan yang membangun mentalitas pecundang. Membunuh kreatifitas tangan masyarakat luas. Hingga seseorang ketika membeli sebuah barang pun tidak lagi berdasarkan kepada nilai utalitas produk tersebut. Tapi, telah menjadikan mereka sebagai penganut fetisme.
Dan untuk melegitimasi hal itu, maka digunakanlah tokoh public figure sebagai ikon mereka. Public figure yang juga hasil dari rekayasa teknologi informasi. Manusia-manusia kerdil yang seakan tiada mempunyai nurani. Dengan iming-iming kenikmatan dunia mereka rela menjadi virus perusak peradaban manusia.
Beginilah corak informasi yang menyerang otak kita. Bukanlah sesuatu yang bisa diklasifikasikan antara negatif dan positif. Sekali lagi manusia telah merubah identitas hitam putih salah benar menjadi wilayah abu-abu yang sulit untuk diraba. Sehingga tiada lagi jarak pemisah antara salah dan benar, tiada lagi realitas dan kebohongan, semuanya telah bercampur menjadi satu adonan budaya yang tidak bisa dipahami tapi hanya bisa dinikmati. Inilah ruang yang menawarkan sebuah pandangan yang semuanya serba relatif.
Jika kondisi ini tidak kita usahakan untuk merubahnya, maka saksikanlah bencana degradasi moral yang akan pelan tapi pasti akan mengahancurkan peradaban manusia. Satu pertanyaan, apakah kita akan bisa bertahan hidup didalamnya?.



0 Comments: