Hantu Flu Babi Selimuti Bumi

Rabu, 29 April 2009

Dalam dua pekan terakhir masyarakat dunia disibukkan dengan kemunculan momok Swine Influenza (Flu Babi) yang telah menewaskan lebih dari seratus orang. Flu babi merupakan sejenis virus varian H1N1 yang berasal dari babi. Virus ini pertama kali ditemukan di Negara Meksiko dan selanjutnya menyebar cepat ke Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Spanyol, Israel. Di Negara asalnya virus ini telah menewaskan lebih dari seratus jiwa, dan lebih seribu orang telah diyakini terinfeksi olehnya.
Penularan penyakit influenza babi di Amerika Serikat dan Mexico ini telah menarik perhatian komunitas internasional, termasuk pemerintah Indonesia yang langsung meningkatkan surveilans penyakit dan memperketat pengawasan lalu lintas orang di pelabuhan laut dan udara untuk mengantisipasi penyebarannya.
Influenza babi atau “flu babi” awalnya merupakan penyakit respirasi akut sangat menular pada babi yang disebabkan oleh salah satu virus influenza babi, termasuk di antaranya virus influenza tipe A subtipe H1N1, H1N2, H3N1, H3N2.

Angka kesakitan akibat infeksi virus yang menyebar di antara babi melalui udara baik dengan kontak langsung maupun tidak langsung dengan babi pembawa virus itu cenderung tinggi pada populasi babi namun tingkat kematian akibat penyakit ini rendah, antara satu persen hingga empat persen.
Kejadian flu babi pada populasi binatang tersebut umumnya sepanjang tahun dengan peningkatan kejadian pada musim gugur dan dingin.
Selain bisa terinfeksi virus influenza babi tipe A subtipe H1N1, babi juga bisa terinfeksi virus avian influenza H5N1 (flu burung) dan virus influenza musiman atau virus influenza yang biasa menyerang manusia. Bahkan kadang babi juga bisa terinfeksi oleh lebih dari satu tipe virus dalam satu waktu.
Kondisi yang demikian memungkinkan virus-virus tersebut saling bercampur dan memunculkan strain virus baru dari beberapa sumber (reassortant virus). Hal inilah yang antara lain membuat virus flu babi yang normalnya spesifik dan hanya menginfeksi babi kadang bisa menembus batas spesies dan menyebabkan kesakitan pada manusia.
Kejadian luar biasa penyakit infeksi influenza babi pada manusia beberapa kali pernah dilaporkan terjadi. Manusia biasanya tertular flu babi dari babi dan, meski sangat sedikit, dari orang yang terinfeksi karena berhubungan dengan babi atau lingkungan peternakan babi.
Kasus penularan flu babi dari manusia ke manusia sendiri terjadi dalam beberapa kasus namun masih terbatas pada kontak dekat dan sekelompok orang saja.
Gejala flu babi pada manusia umumnya serupa dengan gejala infeksi virus influenza yang biasa menyerang manusia yakni demam lebih dari 37,8 derajad celcius, sakit tenggorokan batuk, pilek, sakit kepala dan nyeri.
Presentasi klinis tipikal infeksi flu babi pada manusia yang serupa dengan inluenza biasa dan infeksi saluran pernafasan atas yang lain itu membuat sebagian besar kasusnya tidak terdeteksi dari surveilans influenza sehingga kejadian penyakit ini pada manusia secara global belum diketahui.
Tindakan pencegahan antara lain bisa dilakukan dengan menghindari kontak dengan orang yang sedang sakit, menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin, mencuci tangan dengan air dan sabun, sebisa mungkin menghindari kontak dengan orang lain saat flu serta mencari pertolongan medis jika sakitnya parah supaya mendapatkan pengobatan.

Risiko Pandemi

Semua orang, utamanya mereka yang tidak secara reguler melakukan kontak dengan babi, tidak punya kekebalan terhadap virus influenza babi yang bisa mencegah infeksi virus sehingga jika virus babi berubah menjadi virus yang efisien menular dari manusia ke manusia maka berpotensi menimbulkan pandemi influenza.
Namun menurut WHO dampaknya masih sulit di prediksi, tergantung pada keganasan virus, kekebalan tubuh manusia, perlindungan silang oleh antibodi yang dibutuhkan tubuh dari infeksi influenza musiman dan faktor inang.
Sementara vaksin yang bisa melindungi manusia dari infeksi virus flu babi hingga kini belum ada.
Vaksin influenza biasa yang ada saat ini pun belum terbukti efektifitasnya dalam memberikan perlindungan dari infeksi terhadap influenza babi.
WHO bersama semua mitra dari berbagai institusi masih melakukan penelitian berlanjut untuk mengetahui efektifitas penggunaan vaksin tersebut dalam pencegahan flu babi.
Penanganan kasus influenza bisa dilakukan dengan pemberian obat antivirus untuk penyakit influenza biasa yang terdiri atas dua kelas yakni adamantane (amantadine dan remantadine), dan inhibitor neuraminidase influenza (oseltamivir dan zanamivir).
Namun WHO menyatakan belum memiliki cukup informasi untuk membuat rekomendasi tentang penggunaan obat antivirus dalam pencegahan dan penanganan infeksi flu babi.
Menurut organisasi tersebut, klinisi harus membuat keputusan berdasarkan penilaian klinis dan epidemiologis dengan mempertimbangkan keuntungan dan bahayanya untuk menggunakan obat antivirus sebagai prophylaxis atau untuk pengobatan pasien.
Dalam kejadian flu babi di Amerika Serikat dan Mexico, pemerintah setempat merekomendasikan penggunaan oseltamivir dan zanamivir untuk pencegahan dan pengobatan namun demikian kasus flu babi yang dilaporkan terjadi baru-baru ini umumnya bisa disembuhkan tanpa membutuhkan pertolongan medis khusus dan pemberian obat antivirus tertentu.

Virus lama, subtipe baru.

Flu babi sebenarnya penyakit pernapasan yang umum ditemukan pada babi, tapi strain virus yang ada saat ini mewabah dan menginfeksi manusia tampaknya subtipe yang tak pernah terlihat sebelumnya, baik pada babi maupun pada manusia.
Umumya flu babi tidak menular ke manusia. Menurut WHO, ketika terserang flu, babi akan sakit, 1-4 persen diantaranya mati. Di masa lalu, terkadang ada manusia yang tertular flu babi jika mereka melakukan kontak langsung dengan babi.
Strain flu babi baru ini adalah subtipe yang mengandung material genetik dari babi, burung dan manusia, kata WHO. Richard Besser, direktur pelaksana centers for Disease Control and Prevention, Amerika Serikat menyatakan, berbeda dengan kasus flu babi umunya, flu babi baru ini dapat menyebar antar manusia. Pada salah satu kasus di Amerika, seorang penderita flu babi tertular penyakit berbahaya itu dari pasanganya yang baru bepergian ke Meksiko.
Para ilmuwan menduga babi adalah "mangkuk pencampur" untuk beberapa virus flu. Burung tak dapat menularkan flu burung kepada manusia, namun, secara unik, babi rentan terhadap serangan flu yang menginfeksi burung.
Para ilmuwan telah lama khawatir, strain flu burung yang menginfeksi babi akan bermutasi dalam tubuh mamalia itu dan berkembang menjadi bentuk yang dapat menyerang manusia dan mamalia lain. Kemungkinan itulah yang terjadi sekarang.
Babi juga bisa terinfeksi lebih dari satu virus influenza pada saat yang sama, yang memungkinkan virus-virus itu saling berbagi gen, yang disebut "genetic reassortment", menciptakan lebih banyak virus baru, dan berpotensi lebih berbahaya dari virus sebelumnya.
Dari berbagai sumber*)



Read More......

Pendidikan Itu Proses, Sobat!

Senin, 27 April 2009

Pendidikan dengan segala macam problematikanya telah menjadi momok yang menakutkan! Ehhmm... Benarkah? Sebelum Sobat memberi tanggapan setuju atau tidak terhadap ungkapan diatas, ada baiknya untuk terlebih dahulu kita hidangkan beberapa fenomena menarik yang terjadi dalam dunia pendidikan di negeri kita, Indonesia saat ini.
Pemerintah mengalokasikan dana APBN sebanyak 20% demi memajukan mutu pendidikan bangsa. Kemudian, pemerintah menetapkan standar kelulusan seorang siswa adalah mendapatkan nilai 5,5 melalui proses Ujian Nasional (UN). Pemerintah menaikkan gaji guru, supaya hidup para "Oemar Bakrie " lebih sejahtera serta mampu fokus dalam mendidik para pewaris bangsa ini. Dan mereka tidak lagi mesti menjadi seorang pemulung atau pun tukang ojek demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga mereka.

Bagaimanakah hasil dari semua kebijakan tersebut?. Alokasi dana APBN sebesar 20% yang telah dijanjikan pemerintah belum ada wujud nyatanya. Di Bandung, Desember silam seorang siswi SMK nekad gantung diri karena tidak mampu membayar tunggakan SPP. Di provinsi Bengkulu 16 orang pejabat kepala sekolah ditangkap polisi karena terlibat acara bahas soal bersama yang rencananya jawaban tersebut akan disebarkan kepada anak didik mereka. Di seluruh pelosok Nusantara, sebagian besar siswa menderita stress ketika akan menghadapi UN. Serta masih ada oknum pejabat sekolah yang meminta pungli terhadap para murid. Dan segala macam bentuk kekerasan dan diskriminasi masih saja terjadi dilingkungan sekolah.
Ironis memang kelihatannya. Target-target ideal dalam dunia pendidikan yang memang seharusnya dapat membentuk pribadi yang ideal dalam membangun sebuah peradaban. Tapi, kenyataan yang terjadi di lapangan sungguh jauh dari sebuah kesempurnaan. Bahkan yang terjadi justru aksi penistaan terhadap dunia dan lembaga pendidikan.
Rasanya gak adil, jika kita terus-terusan menyalahkan sistem pendidikan atas semua kekacauan ini. Karena jika kita mau jujur, pada hakikatnya perubahan akan nasib seseorang itu tergantung tehadap perubahan yang lahir dari sanubari pribadi tersebut dalam memandang dirinya sendiri, bukan dengan cara merubah orang lain.
Seperti perkataan seorang pujangga kelahiran Rusia, Leo tolstoy, "everybody thinks changing the world, but nobody thinks changing him self". Hal ini sangat seiring dengan ayat Alquran yang mengatakan bahwasanya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali mereka merubah diri mereka sendiri.
Sobat ElKa bisa mengambil sebuah pelajaran yang sangat penting dari ayat alquran dan perkataan Leo Tolstoy tersebut. Yaitu tuntutan untuk menghasilkan sebuah pencapaian yang maksimal dengan lebih mengutamakan proses.
Kenapa proses menjadi hal yang sangat krusial?. Benar sekali! Karena kenikmatan yang hakiki justru ada pada proses. Pernahkah Sobat bertanya pada diri Sobat sendiri?, kapankah kenikmatan makanan yang Sobat makan? Apakah sewaktu makanan tersebut ada dalam mulut, atau ketika makanan tersebut sudah berada dalam perut, saat Sobat sudah merasa kenyang?. Pasti jawabannya adalah ketika makanan tersebut sedang berada dalam mulut kita.
Apabila paradigma sepeti ini dipakai dalam memandang mengembangkan dunia pendidikan dalam negeri saat ini, tentunya kebijakan-kebijakan yang mencoreng citra pendidikan tak perlu terjadi, dan yang paling penting ialah akan terlahir generasi terdidik yang matang melalui pendidikan yang lebih mengutamakan pada proses.
Dalam sejarah perjalanan para ilmuwan mana pun kita tidak pernah membaca sebuah literatur yang menulis tentang seorang yang lahir dalam keadaan berpengetahuan. Yang ada ialah sebuah kisah perjalanan mereka menjadi seorang ilmuwan.
Maka ayat yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah ialah, Iqra'!. Yang berarti perintah untuk membaca, sebuah proses mencapai ilmu pengetahuan. Wallahu a'lam.



Read More......

Untuk Yang Ingin Belajar Kembali

Cak Nun beserta rombongan Kiai Kanjeng hibur korban bencana alam Situ Gintung.
Jumat (24/04) Pemerintah kotamadya Tanggerang Selatan mengadakan acara Mental dan Spritual Recovery bagi para korban bencana alam Situ Gintung. Acara diadakan pada pukul 20.00 WIB bertempat di lapangan sepakbola ISCI, Kertamukti, Ciputat. Acara tersebut menghadirkan Emha Ainun Najib atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cak Nun beserta kelompok kesenian Kiai Kanjeng binaannya.
Dalam kesempatan yang mengangkat tema "Untuk Yang Ingin Belajar Kembali" tersebut, Cak Nun beserta para hadirin bersama-sama mendoakan keselematan bagi korban yang meninggal. Serta memberi semangat dan dorongan bagi korban selamat, dengan mendoakan para korban diberi Allah ketabahan dan kesabaran yang tinggi atas musibah yang menimpa mereka.

Bencana jebolnya Situ gintung yang melanda daerah Cirendeu, Ciputat, tanggerang, 27 maret silam, menelan korban jiwa sebanyak 90 orang. Sebagaimana disampaikan oleh walikota Tanggerang Selatan, Ir. H.M Shaleh MT. "Menurut data statistik yang baru kami terima jumlah korban yang meninggal bencana Situ Gintung berjumlah 90 jiwa serta 4 jiwa yang masih belum ditemukan, hal ini sekaligus konfirmasi dari berita yang sebelumnya menyatakan jumlah korban meninggal dunia mencapai angka seratus lebih".
Selain itu Cak Nun mengajak para pihak yang terkait dalam proses rehabilitasi korban selamat untuk lebih mengedepankan proses pembangunan kembali mental. Cak Nun menyampaikan wejangannya, "Mereka yang telah pergi, tinggalkanlah urusan mereka bersama Yang Maha Kuasa, yang lebih penting ialah yakinkan bahwasanya proses pembangunan kembali mental dan spritual korban yang selamat berjalan sebagaimana mestinya".
"Karena pada saat ini bangsa Indonesia sibuk dengan urusan Pemilu Legislatif dan akan berlanjut dengan Pemilu Pilpres Juli mendatang, jadi para pejabat cenderung melupakan korban bencana alam yang terjadi dimana-mana, termasuk korban bencana Situ Gintung".
"Padahal bencana Situ Gintung merupakan pintu bagi penyelesaian masalah bangsa yang semakin pelik. Apabila proses penyelesaian bencana Situ Gintung berjalan sukses, maka insya Allah proses penanganan masalah bangsa Indonesia yang lain akan dapat terselesaikan" demikian ia menambahkan.
Selain berkesempatan mendengar nasehat dari Cak Nun, Masyarakat yang hadir juga dihibur oleh pementasan kelompok kesenian Kiai Kanjeng binaan Cak Nun. Lantunan Shalawat dan lirik yang bermakna sufistik dapat menghadirkan kegembiraan bagi masyarakat yang hadir. Dan sedikit mengobati kegalauan jiwa.



Read More......

Ruang Yang Telah Hilang

Rabu, 15 April 2009

Ada seorang pangeran kecil dengan makhkota ajaibnya dan penyihir jahat menculiknya, mengurungnya di menara, membuatnya jadi bisu. Di menara itu ada jendela berterali besi dan pangeran kecil itu membenturkan kepalanya ke terali, berharap seseorang akan menengar suaranya dan menemukannya. Mahkota itu membuat suara terindah yang pernah didengar orang. Suaranya menggema sampai jauh. Begitu indahnya suara tersebut sehingga orang ingin menangkap udara. Mereka tak menemukan sang pangeran, tak pernah menemukan kamarnya, tapi suara itu memenuhi hati setiap orang dengan keindahan. (Alfathri Alin, editor jalasutra).
Setelah membaca paragraf pertama dari catatan editor buku berjudul 'Hipersemiotika, tafsir cultural studies atas matinya makna' karangan Yasraf Amir Piliang, sejenak saya terbuai dengan keindahan kata yang digoreskan pena sang editor. Terbang dalam keindahan susunan kalimat yang membutakan mata hati untuk melihat pesan yang akan disampaikannya. Saya terpesona layaknya para penduduk kerajaan yang tidak lagi mencari makna yang ada dari alunan suara benturan kepala pangeran ketika berbenturan dengan terali besi.

Dan layaknya seperti sebuah mimpi, ketika terbangun saya sadar akan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Membawa saya untuk melihat dunia dalam perspektif yang berbeda. Mencoba menilai kebudayaan masyarakat dalam dari sudut pandang yang sedikit orang yang menggunakannya. Menunutut saya menjadi penduduk kerajaan yang akan memahami perasaan sedih sang pangeran dan membebaskanya dari penjara penyihir jahat.
Oleh sebab itu, saya menghadirkan ceritera tersebut dalam versi penduduk dihabitat ruang modern saat ini. Bukan tentang penderitaan seorang pangeran kecil yang ditawan oleh penyihir jahat, tetapi tentang penderitaan yang saat ini semua anak bergenus manusia tersiksa dan terpenjara olehnya.
Saat mata hati dibutakan oleh kesenangan semu yang ditawarkan oleh berbagai macam rekayasa teknologi informasi. Kesenangan yang hanya dapat dinikmati dalam sejenak saja, namun pada hakikatnya adalah sebuah kehancuran yang besar telah berada dipelupuk mata kita.
Perangkat teknologi audiovisual seakan telah menjadi sebuah kebutuhan primer manusia modern pada zaman ini. Kecanggihan yang ditawarkan olehnya tidak lagi sebagai sebuah hiburan. Namun ia telah bermutasi menjadi makhluk yang sangat berpengaruh dalam proses pembentukan pola pikir dan tingkah laku manusia.
Pada dasarnya, segala macam pencapain manusia dalam bidang teknologi bukanlah sebuah kekeliruan yang mengakibatkan sebuah kefatalan. Namun, tendensi-tendensi busuk yang lahir dari rahim tangan-tangan kotor manusia telah menjadikan semua itu layaknya sebuah virus yang akan mengacaukan segala macam bentuk keharmonian yang ada dalam peradaban manusia.
Setiap detik otak manusia dibombardir oleh milyaran informasi yang bersiliweran. Sedangkan dalam teori fisika quantum dijelaskan, sebuah otak manusia mampu memproduksi rata-rata 14 ribu pemikiran perhari, 5 juta pertahun, 350 juta selama hidupnya. Dan untuk tetap dalam keadaan waras maka mayoritas pemikiran tersebut hanya berupa pengulangan.
Oleh karenanya, sistem otak manusia hampir setiap saat berada dipercabangan menuju bifurkasi (percabangan yang berpengaruh positif/negatif). Satu turbulen kecil berasal dari kamulasi keresahan akan membawa manusia pada tingkatan kritis yang bisa menjadikannya apa saja.
Teknologi audiovisual sebagian besar menyajikan sebuah produk budaya yang sangat primitif. Menampilkan segala macam adegan kekerasan dan iklan yang membangun mentalitas pecundang. Membunuh kreatifitas tangan masyarakat luas. Hingga seseorang ketika membeli sebuah barang pun tidak lagi berdasarkan kepada nilai utalitas produk tersebut. Tapi, telah menjadikan mereka sebagai penganut fetisme.
Dan untuk melegitimasi hal itu, maka digunakanlah tokoh public figure sebagai ikon mereka. Public figure yang juga hasil dari rekayasa teknologi informasi. Manusia-manusia kerdil yang seakan tiada mempunyai nurani. Dengan iming-iming kenikmatan dunia mereka rela menjadi virus perusak peradaban manusia.
Beginilah corak informasi yang menyerang otak kita. Bukanlah sesuatu yang bisa diklasifikasikan antara negatif dan positif. Sekali lagi manusia telah merubah identitas hitam putih salah benar menjadi wilayah abu-abu yang sulit untuk diraba. Sehingga tiada lagi jarak pemisah antara salah dan benar, tiada lagi realitas dan kebohongan, semuanya telah bercampur menjadi satu adonan budaya yang tidak bisa dipahami tapi hanya bisa dinikmati. Inilah ruang yang menawarkan sebuah pandangan yang semuanya serba relatif.
Jika kondisi ini tidak kita usahakan untuk merubahnya, maka saksikanlah bencana degradasi moral yang akan pelan tapi pasti akan mengahancurkan peradaban manusia. Satu pertanyaan, apakah kita akan bisa bertahan hidup didalamnya?.



Read More......

Lirycs of We will not go down

Senin, 13 April 2009

a cumposed by Michael Heart

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they're dead or alive
They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze
We will not go down
In the night, without fight
You can burn up our mosques and our homes
And our scholls
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so called leaders of countries afar
Debated on who's wrong or right
But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

indonesian vesion...

Cahaya putih yang membutakan mata
Menyala terang di langit Gaza malam ini
Orang-orang berlarianuntuk berlindung
Tanpa tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati
Mereka datang dengan tank dan pesawat
Dengan berkoberan api yang merusak
Dan tak ada yang tersisa
Hanya suara yang terdengar di tengah asap tebal
Kami tidak akan menyerah
Di malam hari, tanpa perlawanan
Kalian bisa membakar masjid kami, rumah kami, dan sekolah kami
Tapi semangat kami tidak akan pernah mati
Kami tidak akan pernah menyerah
Di Gaza malam ini
Wanita dan anak-anak
Dibunuh dan di bantai tiap malam
Sementera para pemimpin nun jauh disana
Berdebat tentang siapa yang salah dan yang benar
Tapi kata-kata mereka dalam kesakitan
Dan bom-bom pun berjatuhan seperti hujan asam
Tapi melalui tetes air mata dan darah serta rasa sakit
Anda masih bisa mendengar suara itu di tengah asap tebal
Kami tidak akan menyerah
Di malam hari, tanpa perlawanan
Kalian bisa membakar masjid kami, rumah kami, dan sekolah kami
Tapi semangat kami tidak akan pernah mati
Kami tidak akan menyerah
Di Gaza malam ini.



Read More......

Menggugurkan Prinsip “Bebas-Nilai” dalam Kajian Ilmu Sosiologi

Rabu, 08 April 2009

Hampir mayoritas sosiolog akan berpendapat bahwa ilmu sosiologi menggunakan prinsip “value free” (bebas nilai) demi menjaga obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu atau teori. Unsur nilai yang memasukkan asumsi subyektivitas ke dalam kajian sosiologi akan menyebabkan ketidakobyektifan sebuah gagasan. Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.[1] Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral).
Untuk memahami perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, kita sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas (kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki. Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Menurut Ignas Kleden, dalam pengertian pengetahuan yang praktis ini terkandung dua makna, yaitu persoalan nilai dan kepentingan yang akan menimbulkan perdebatan dan pernyataan apakah pengetahuan itu bebas nilai dan tanpa adanya kepentingan.[2]

Kalau dalam makna pengetahuan yang bebas nilai, sosiologi itu sekedar menjadi ilmu yang mendeskripsikan kenyataan obyektif, dan berputar pada persoalan teoritis. Tidak ada campur tangan seorang peneliti dalam kajian dan pengamatannya. Di sinilah kemudian ada cap yang teralamatkan pada pengetahuan dengan makna demikian sebagai pengetahuan yang tidak perlu memecahkan masalah karena jika sudah seperti itu maka persoalan nilai dan kepentingan pasti akan masuk. Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para pelopor sosiologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai. Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importance), Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai pelopor positivisme dalam sosiologi mengklaim bahwa ilmu yang digagasnya itu dapat memecahkan masalah.[3] Jadi, tidak bisa semata-mata itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu. Atau ilmu itu tidak semata-mata teoritik, tapi juga terkandung kegunaan praktisnya. Dalam hal ini sosiologi profetik tidak hanya terpaku pada ilmu teoritik saja, tapi juga bersifat praktis.Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan[4]: ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis. Dalam ilmu alam yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang dilakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus. Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi.
Lalu, Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan.[5] Pertama, pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah amalam spesies manusia. Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan. Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. Dan yang kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Dengan kelima tesis ini Habermas menghujamkan kritikannya terhadap positivisme dan sainstisme. Artinya, ia mengkritik kenaifan ilmu pengetahuan yang bernafsu mencari teori murni yang bebas dari opini-opini subyektif, tendensi-tendensi, penilaian moral, dan kepentingan lainnya.
Prinsip bebas nilai dalam ilmu pengetahuan itu menafikan adanya “historisisme” yang sangat menentukan bagaimana konstruksi atas pengetahuan itu. Jika dilihat menurut kacamata sosiologi pengetahuan maka sesunggunya ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sangat terkait dengan konteks historis kemunculannya. Max Scheler dan Karl Mannheim, dari aliran sosiologi pengetahuan, menentang ide mengenai ilmu-ilmu sosial yang bebas nilai. Keduanya menyatakan bahwa pikiran, bahkan pikiran logis para ilmuan sekalipun, dibentuk secara historis dan itu, baik disadari atau tidak, sedang merefleksikan kebudayaan mereka sendiri dan perspektif sosial yang mereka adopsi. Seorang ilmuan memang harus mengatasi prasangka-prasangka mereka dengan memperbaiki kadar kualitas pembacaan mereka atas realitas, dengan berpangkal pada obyektivitas, tapi pada saat yang sama mereka harus mengklarifikasi asumsi-asumsi yang mendasar, memahami lokasi-lokasi sosial mereka sendiri dalam masyarakat, dan juga secara kritis mempertanyaan cita-cita sosial yang ada di masyarakat.[6] Jadi, konstruksi berpikir seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, yang itu kemudian menuntut dirinya mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Ideal pengetahuan obyektif Abad Pencerahan “membasmi” semua pra-pendapat subyektif untuk membentuk suatu pendekatan yang “netral” dan “obyektif”. Hal ini dimaksudkan agar terbebas dari bias-bias emosional, afektif, dan pribadi, dengan mengunggulkan akal dan metodologi yang logis sebagai jalan menuju pencerahan. Pengetahuan yang dihasilkan seperti ini adalah akibat historis yang terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural dengan bangkitnya pemikiran Abad Pencerahan. Berkebalikan dari nuansa abad itu, Gadamer menegaskan kembali pentingnya tradisi dan prasangka dalam memahami segala sesuatu. Seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari batas-batas tradisinya. Tradisi sangat terkait dengan prasangka yang melatarbelakangi penafsiran kita atas realitas. Pentingnya tradisi dan prasangka ini menjadi upaya yang dilakukan oleh Gadamer dalam hermeneutikanya. Memahami (understanding) terkondisikan oleh masa lalu (“tradisi” kita) dan prasangka kita pada saat sekarang. Yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pentingnya tradisi sebagai sebuah faktor yang mengkondisikan dan menjaid batas yang jelas dalam cara-cara di mana orang menafsirkan teks. Dalam proses menafsirkan itu, menurut Gadamer, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan, dan agenda seseorang ke dalam teks. Dalam perspektif Gadamerian, “kebenaran” itu tidak pernah final, definitif atau obyektif, karena terkondisikan historisnya.[7] Kata Gadamer, orang tidak dapat memahami sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Konsep penafsiran obyektif dan bebas nilai menjadi problematis untuk diterapkan secara pasti.[8] Maka, ketika kita memahami teks maupun juga realitas, yang terjadi justru “relativisme”, bukan universalisme dan absolutisme kebenaran. Apa yang ingin diraih dalam netralitas nilai untuk mencapai obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu menjadi absurd.
Ada sebuah tafsiran mengenai nilai yang dilihat menurut kaca mata sosiologi. Kita mungkin pernah mendengar pernyataan Max Weber, salah satu tokoh yang mengembangkan sosiologi, yang sampai pada kesimpulan bahwa sosiologi harus bersifat bebas-nilai. Memang, tafsiran Weber mengenai rasionalitas ada yang berorientasi pada nilai.[9] Tapi, nilai apa yang dimaksud di sini? Seorang pengikut Weberian, Peter L. Berger, menyatakan bahwa hampir tidak mungkin bagi seseorang manusia berada tanpa suatu nilai apapun. Ia mengakui bahwa seorang ahli sosiologi secara normal memang mempunyai banyak nilai, tapi dalam batas-batas kegiatannya sebagai seorang ahli sosiologi hanya ada satu nilai fundamental, yaitu integritas ilmiah.[10] Jadi, nilai yang dimaksud adalah integritas seorang sosiolog dalam mencapai pengetahuan yang obyektif. Seorang sosiolog dengan berbagai macam praduga dan subyektivitas yang mungkin muncul pada dirinya, maka dia harus mampu mencoba memahami dan mengendalikan kemencengan yang harus dihapuskan dalam karya-karyanya.
Apakah dengan pernyataan Weber yang mengambil kesimpulan bahwa sosiologi itu harus bebas nilai menafikan adanya historisitas sebuah kebenaran obyektif? Rasionalitas yang dibangun Weber ternyata secara konsisten bersifat historis, yaitu menempatkan diri di dalam makna suatu zaman di mana ilmu pengetahuan tidak mampu lagi menciptakan makna karena agama dan pengetahuan telah diceraikan.[11] Di tengah memudarnya pesona modernitas dengan nihilisme makna, Weber masih berkeyakinan bahwa Tuhan dan nilai-nilai pemandu bisa untuk dipilih. Tuhan tidak mati, dan justru pengetahuan tidak bisa lagi menciptakan nilai-nilai mengenai diri kita sendiri.[12] Maksud dari teori sosial Weber yang bersifat historis adalah karena pengetahuan yang dihasilkan dari modernitas --salah satu sisi historis peradaban pada Abda Pencerahan-- itu memiliki kekaburan makna maka kita kini sebaiknya menciptakan makna-makna baru dengan tidak menafikan peran nilai dan Tuhan (agama) sebagai pemandu.


[1] Joseph MMT Situmorang, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai”, dalam Majalah Driyarkara, Tahun XXII, No.4, hal. 13.
[2] Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta: LP3ES, 1988), cet.II, hal.24-25.
[[3] Ilyas Ba-Ynus, op.cit, hal. 37.
[4] F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat dan Politik menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 8-10.
[5] Ibid, hal. 11-14.
[6] Gregory Baum, Agama dalam Bayang-bayang Relativisme, terj. A. Murtajib Chaeri dan Masyhuri Arow, (Yogyakarta: Tiara Wacana dan Sisiphus, 1999), hal. 23-24.
[7] Lihat Richard King, Agama, Orientalisme, dan Postkolonialisme, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Qalam, 2001) hlm. 137-144.
[8] Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Seabury Press, 1975), hal. 15.
[9] Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Tindakan rasional (menurut Weber) menurut pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Weber membagi rasionalitas tindakan ini ke dalam empat macam, yaitu: rasionalitas instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan tradisional, dan tindakan afektif. Rasionalitas instrumental sangat menekankan tujuan tindakan dan alat yang dipergunakan dengan adanya pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam melakukan tindakan sosial. Dibandingkan dengan rasionalitas instrumental, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yangs sadar; tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau nilai akhir baginya. Lihat Paul Johnson, op.cit., hal. 220-1.
[10] Peter L. Berger, Humanisme Sosiologi, terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), hal. 11.
[11] Peter Beilharz, Teori-teori Sosial, terj. Sigit Jatmiko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 370.
[12] Max Weber, From Max weber, peny. H.H. Gerth dan C.W. Mills, (London: Routledge, 1948), hal. 155.



Read More......

Ketika Kampus Islam diBajak Orientalis

Oleh: Adian Husaini

Lebih dari 30 tahun benih orientalisme mencengkram studi Islam dan semakin merambah ke berbagai bidang, termasuk studi Al-Qur’an.
Saat mengisi acara workshop di Pondok Pesantren Gontor, 19-20 Agustus 2006 lalu, saya mendapatkan hadiah sebuah Jurnal yang sangat bagus, bernama TSAQAFAH. Jurnal ini diterbitkan oleh Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia. Pada edisi Vol.2, Nomor 2, 2006/1427, diangkat berbagai artikel menarik tentang keislaman. Salah satu yang perlu kita jadikan catatan adalah sebuah artikel berjudul “Framework Kajian Filsafat Islam” tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi, Pembantu Rektor III ISID.
Melalui riset yang cukup mendalam terhadap sejumlah kurikulum kajian filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia –baik yang negeri maupun swasta– Hamid Fahmy membuktikan bahwa kajian filsafat Islam di Indonesia tampak jelas terpengaruh oleh kajian para orientalis. Pengaruh itu tidak hanya pada cara atau metodologi pengkajian, tetapi lebih mendasar lagi, sampai pada framework (kerangka) dan cara pandangnya
terhadap filsafat Islam.
Cara pandang ini tentu bukan tanpa maksud. Secara sistematis, mereka akan menunjukkan bahwa filsafatIslam hanyalah kertas copi dari Yunani; tanpa Yunani, Islam tidak memiliki pemikiran rasional. Padahal, sekalipun konsepsi falsafah juga dikenal dalam pemikiran Islam, namun tetap disertai kritik dan seleksi yang ketat. Itulah yang dilakukan oleh Al-Ghazali dan Ibn Taymiyah.
Menurut Hamid Fahmy, berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang berdasarkan akal, tradisi filsafat Islam bersumberkan pada wahyu. Dengan demikian, filsafat Islam adalah filsafat yang lahir dari pemahaman, penjelasan, dan pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Quran dan Sunnah.
Dalam sejarahnya, para ulama dan cendekiawam Muslim telah melakukan proses seleksi dan adapsi yang ketat terhadap pemikiran yang datang dari luar Islam.

Sejumlah ilmuwan seperti Ibn Sina, al-Kindi, dan al-Farabi, menerima filsafat Yunani dan berusaha memodifikasikannya agar sesuai dengan prinsip-prinsip penting dalam ajaran Islam. Al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi menerimanya sejauh masih sejalan dengan ajaran Islam dan menolak konsep-konsep yang bertentangan dengan Islam.
Ibn Taymiyah termasuk diantara penolak keras “filsafat”, tetapi ternyata juga menerima jenis filsafat tertentu, yang disebutnya al-falsafah al-shahihah (filsafat yang benar) dan al-falsafah al-haqiqiyah (filsafat yang sebenarnya).
Hamid Fahmy – yang telah menyelesaikan disertasi doktornya tentang ‘Teori Kausalitas al-Ghazali” di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur – mencatat, bahwa para ulama Islam menolak, menerima secara selektif atau menerima dan memodifikasi prinsip-prinsip filsafat Yunani, karena konsep-konsepnya yang tidak sejalan dengan konsep Islam.
Selain itu, mereka juga percaya akan adanya konsep Islam sendiri yang berbeda dengan konsep asing itu. Ini berarti, simpul Hamid Fahmy, para ulama memandang bahwa dalam Islam terdapat prinsip berfikir filosofisnya sendiri yang berbeda dari Yunani.
Jadi, sejak awal, umat Islam sudah memiliki tradisi berpikir sendiri yang berdasarkan wahyu, yang berbeda dengan tradisi berpikir Yunani. Sumber aspirasi yang asli dan riil dari para pemikir Muslim adalah Al-Quran dan Sunnah Rasul. Bahwa ada sebagian unsur asing yang kemudian diserap dalam khazanah pemikiran Islam, tetap diupayakan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam masalah Tuhan, manusia, dan alam semesta, para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam tradisi filsafat Yunani.
Mengambil contoh Kurikulum dan Silabi Kuliah Filsafat Islam terbitan Departemen Agama, Hamid menunjukkan, bahwa yang dimaksudkan sebagai “pemikiran filsafat Islam yang awal” dalam kurikulum ini adalah dimulai sejak masuknya pengaruh filsafat peripatetik Yunani ke dalam Islam. Artinya, filsafat Islam dianggap wujud hanya setelah datangnya pengaruh filsafat Yunani. Ha ini mendukung anggapan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat atau pemikiran filosofis. Model kajian seperti ini tidak akan memberi bekal kemampuan kepada mahasiswa untuk mengembangkan filsafat sains dalam Islam.
“Jika framework ini ditelusuri asal usulnya maka akan terungkap kesamaannya dengan framework yang dipegang secara meluas oleh para orientalis,” tulis Hamid Fahmy, yang juga Direktur Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), ISID Gontor.
Hasil riset Hamid Fahmy Zarkasyi tentang metode studi filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia ini sangat penting untuk ditelaah dan direnungkan secara mendalam.
Jauh sebelumnya, 30 tahun lalu, Prof. HM Rasjidi telah menunjukkan kuatnya pengaruh metode orientalis terhadap buku wajib dalam studi Islam di Indonesia, yakni buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”, karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi kemudian memberikan kritik-kritik yang tajam terhadap buku tersebut, bahwa buku itu merusak dan membahayakan aqidah Islam.
Tetapi, kritik-kritiknya tidak pernah didengar. Buku ini tetap dijadikan sebagai rujukan dalam studi Islam di Perguruan Tinggi, tanpa didampingi oleh buku Prof. Rasjidi: Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”.
Seperti pernah kita bahas, buku Harun Nasution ini memuat begitu banyak kesalahan fatal dan mendasar tentang Islam. Dalam aspek filsafat, Harun Nasution juga menulis: “Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir…Filosof kenamaan yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi.”
Dalam pemaparannya, Harun mengungkap berbagai perdebatan seputar isu-isu dalam kajian filsafat, tetapi tidak melakukan ‘tarjih’ terhadap pendapat yang benar. Bahkan ketika membahas pendapat seorang filosof yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam, Harun tidak memberikan kritik terhadapnya. Seperti ketika menjelaskan tentang filosof Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (864-925), Harun bahkan menulis, “Tetapi sungguhpun ia menentang agama-agama, al-Razi bukanlah seorang ateis. Ia tetap percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini.”
Padahal, ditulis oleh Harun: “Al-Razi adalah seorang rasionalis yang hanya percaya pada akal dan tidakpercaya pada wahyu. Menurut keyakinannya akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya Tuhan, apa yang baik dan apa yang buruk, dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Oleh karena itu Nabi dan Rasul tak perlu, bahkan ajaran-ajaran yang mereka bawa menimbulkan kekacauan dalam masyarakat manusia. Semua agama dia kritik. Al-Quran baik dalam bahasa maupun isinya bukanlah mu’jizat.”
Sebagai buku panduan untuk mahasiswa Muslim, harusnya Prof. Harun menjelaskan, bahwa pendapat Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (bukan Fakhruddin al-Razi) adalah keliru dan bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Harusnya, Prof. Harun tidak bersikap netral dalam hal-hal yang jelas-jelas salah. Bahkan, dalam uraiannya, Harun lebih cenderung mengunggulkan pendapat Ibnu Ruyd, ketimbang al-Ghazali. Dalam kritiknya, Rasjidi menyesalkan kecenderungan Harun untuk lebih menonjolkan pendapat Ibn Rusyd yang memberikan pembelaan kepada para filosof peripatetik dari kritikan al-Ghazali.
Kajian Harun tentang aspek filsafat dalam Islam, menurut Prof. Rasjidi, merupakan aspek yang sangat negatif, khususnya bagi mahasiswa IAIN tingkat pertama.
Dalam kritiknya, Rasjidi mengupas secara tajam kekeliruan pemikiran Ibnu Rusyd, al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Filsafat Islam, kata Prof. Rasjidi, adalah suatu usaha untuk mempertahankan aqidah Islam dengan mengambil bahan dari filsafat Yunani yang tidak bertentangan dengan Islam. Teori al-Farabi dan Ibnu Sina tentang emanasi (pancaran) bertentangan dengan Islam, yang menegaskan, bahwa Allah menciptakan alam dengan kemauan-Nya, bukan melalui pancaran. Meskipun mengakui kebaikan niat baik Ibnu Rusyd dalam membela filosof – yakni untuk menunjukkan bahwa Islam tidak bertentangan dengan akal – tetapi Rasjidi menilai teori Ibnu Rusjd tentang kekekalan alam sudah usang untuk abad ke-20. “Kelihatan sekali bahwa Dr. Harun Nasution tidak mengikuti perkembangan ilmu cosmology astrophysic, sehingga ia mempertahankan pendapat Ibnu Rusyd yang sudah usang itu,” tulis Prof. Rasjidi.
Itulah studi kritis Prof. Rasjidi terhadap aspek filsafat dalam buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya” karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi menulis kritiknya ini pada tahun 1975. Bisa dikatakan, kajian Hamid Fahmy Zarkasyi lebih maju selangkah lagi dari apa yang telah dilakukan oleh Prof. Rasjidi, karena Hamid Fahmy sudah menyentuh aspek “framework” dan cara pandang. Bahkan, Hamid menawarkan perspektif baru dalam studi filsafat Islam yang belum ditawarkan oleh Prof. Rasjidi sebelumnya.
Kajian-kajian ilmiah dan serius tentang berbagai bidang keilmuan Islam (Ulumuddin) saat ini merupakan proyek yang sangat mendesak bagi umat Islam. Apalagi, 30 tahun setelah benih orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution, cengkeraman orientalis dalam studi Islam sudah semakin merambah ke berbagai bidang studi-studi lain, baik dalam studi agama-agama maupun dalam studi Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya ‘proyek-proyek pesanan’ negara-negara dan LSM Barat dalam studi dan pemikiran Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan mata kuliah hermeneutika, misalnya, tidak bisa dianggap hal yang enteng.
Penggunaan epistemologi relatif dalam studi agama di Ushuluddin telah membongkar framework studi agama-agama dalam tradisi Islam yang berbasis pada keimaman Islam.
Ketika mengisi satu seminar di Yogyakarta pada 18 Agustus 2006 lalu, seorang peserta menyatakan, bahwa dalam studi ilmu-ilmu agama, metodologi Barat lebih baik dibandingkan dengan metodologi Islam. Pernyataan semacam ini sudah sering disampaikan dalam berbagai buku dan kesempatan. Padahal, biasanya yang mereka maksud dengan ‘metodologi’ yang baik adalah dalam soal teknik penulisan. Misalnya, karena banyak catatan kakinya, maka suatu tulisan disebut ilmiah dan bagus.
Kita tidak menolak metode semacam ini. Bahkan, perlu memberikan apresiasi terhadap ketekunan dankesungguhan para orientalis dalam melakukan penelitian dan penulisan tentang Islam. Terutama dengan kesungguhan mereka dalam menghimpun literatur-literatur Islam.
Tetapi, kita juga perlu senantisa kritis, bahwa dalam metodologi atau lebih tepatnya framework kajian agama, ada perbedaan yang mendasar antara Islam dengan para orientalis pada umumnya. Bagi seorang Muslim, belajar agama bertujuan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yang dapat meningkatkan iman dan ibadah kepada Allah. Sebab, tidaklah manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. (QS
51:56).
Seorang Muslim yakin, bahwa mencari ilmu itu sendiri adalah kewajiban dan merupakan ibadah. Karena itu, kita diajarkan untuk senantiasa berdoa, mudah-mudahan kita dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu yang manfaat adalah ilmu yang menghasilkan dan memperkuat keimanan, dan bukan ilmu yang menambah keraguan dan kebingungan, serta semakin menjauhkan diri dari ibadah kepada Allah.
Metode studi agama cara Islam ini tentu berbeda dengan metode para studi agama ‘gaya Barat’ yang lebih diarahkan untuk menjadi ‘ilmuwan dan pengamat keagamaan’. Karena itu, dalam model studi seperti ini, para dosen tidak mempersoalkan apakah mahasiswa itu sesat atau benar. Suatu skripsi atau tesis tetap diluluskan jika dianggap sudah memenuhi syarat metode penulisan ilmiah, tanpa peduli apakah karya ilmiah itu benar atau salah dari segi isinya dalam pandangan Islam. Bahkan, banyak yang sudah bersifat skeptis dan agnostik terhadap kebenaran, dengan menyatakan, bahwa manusia tidak akan tahu kebenaran sejati, yang tahu kebenaran hanya Allah. Tentu saja ini sangat keliru, sebab Allah telah menurunkan wahyu-Nya kepada manusia melalui Nabi dan Rasul dengan tujuan untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Kita berharap para dosen di perguruan tinggi Islam dan para pejabat Departemen Agama sadar akan amanah berat yang mereka pikul saat ini, sehingga mereka tidak bersantai-santai atau bermain-main dalam hal ilmu agama.
Mereka perlu sadar, bahwa upaya untuk meruntuhkan Islam yang sangat strategis adalah dengan cara merusak konsep-konsep keilmuan Islam. Itulah yang sejak berabad-abad lalu dilakukan oleh para orientalis.
Dalam pasal 2, Perpres No 11 tahun 1960, tentang pembentukan IAIN disebutkan, bahwa tujuan pembentukan IAIN adalah: “IAIN tersebut bermaksud untuk memberi pengadjaran tinggi dan mendjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang Agama Islam.”
Jadi, sesuai dengan niat mulia sejak awalnya, perguruan-perguruan tinggi Islam harus menjadi pusat pengembangan dan pendalaman ilmu tentang agama Islam. Tentu, sebagai umat Islam Indonesia, kita berharap, dari kampus-kampus ini lahir para cendekiawan dan ulama yang berilmu tinggi dan taat kepada Allah. Untuk itu, agar menjadi kampus Islam yang benar-benar sehat, segala macam jenis kuman dan virus-virus yang merusak ilmu-ilmu Islam harus mulai dikaji, diteliti, untuk selanjutnya ‘dijinakkan’ dan diamankan’.
Cita-cita mulia itu tidak akan terwujud, jika civitas academica di kampus Islam tidak bisa membedakan mana yang ‘obat’ dan mana yang ‘racun’; mana ilmu yang bermanfaat dan mana ilmu yang madharat. Jika tidak paham atau tidak peduli dengan masalah ini, bisa jadi, kampus yang semula didirikan dengan niat begitu mulia, akhirnya secara tidak sadar sudah dibajak oleh para orientalis. Wallahu a’lam.


Read More......