Sultan Abdul Hamid II; Aktualisasi Nilai Islam Dalam Ranah Politik Modern

Jumat, 28 Agustus 2009

Islam dan politik adalah dua suku kata yang sangat familiar. Dalam diskusi dan kajian politik keduanya sering hadir secara bersamaan. Kedua istilah ini mampu menyedot perhatian para intelektual untuk membahasnya. Sebagian orang malah melabelkan Islam untuk dipasangkan dengan kata politik –politik Islam-. Walaupun demikian halnya, pada realita peta politik di zaman modern tetap saja dua istilah ini dipandang ibarat dua sisi simetris rel kereta api yang sulit untuk dipertemukan.
Dalam bahasa politik ada sebuah adagium yang seakan sudah menjadi manifesto para politisi; "Tak ada yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan". Disisi lain, Islam berbicara atas dasar prinsip-prinsip idealis yang bersifat absolut, dan semuanya itu terangkum dalam Alquran dan Hadist. Dua kitab suci yang senantiasa dipegang teguh setiap muslim sebagai sumber hukum mutlak yang tak dapat dibantah.

Dinamika ideologi politik modern cenderung bersifat pragmatis karena bersumber dari proses perenungan dan pemikiran kaum intelektual yang tidak mungkin melepaskan diri dari tandensi-tandensi pihak tertentu. Sedangkan Islam, ialah sebuah produk penuntun yang langsung bersumber dari Allah swt, Pencipta dan Pengatur manusia dan tentunya Maha Tahu dengan kebutuhan makhluknya.
Dan menurut Sayyid Quthb, pemerintah yang tidak menerapkan Islam sebagai UU disebut sebagai Masyarakat Jahilliah. (Hidayat, Nuim. 2005. Sayyid Quthb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani Press). Dalam sejarah politik modern, sistem pemerintahan yang pure mengambil dua sumber hukum yang datang dari Allah swt sebagai Undang-Undang (UU) tidaklah pernah kita temukan. Namun kenyataan tersebut bukanlah sebuah ketidak niscayaan akan adanya pemerintah yang mengadopsi nilai-nilai Islam untuk diterapkan dalam prilaku politik.
Abdul Hamid (1842-1918 M) adalah salah satu contoh ideal dari sosok pemimpin yang mampu menerapkan nilai-nilai Islam dalam perjalanan karir politiknya sebagai penguasa kesultanan Utsmaniyyah. Walaupun pada masa pemerintahannya sistem pemerintahan Barat sudah kuat, karena proses infiltrasi sistem pemerintahan Barat sudah diterapkan oleh sultan sebelumnya. Namun westernisasi sistem pemerintahan Khilafah yang berimplikasi terhadap prilaku politisi menjadi pribadi pragmatis dan opurtunis tidaklah mengubah kepribadian Abdul Hamid sebagai seorang pemimpin muslim yang idealis dan teguh dalam memegang prisip keislamannya.
Abdul Hamid adalah salah seorang putra dari Sultan Abdul Madjid, Sultan dari keluarga Utsman yang pada masa pemerintahannya kesultanan Utsmaniyyah untuk pertama kali mengadopsi sistem pemerintahan yang berasal dari Barat (Eropa). Ia mengganti sistem struktur Diwan yang selama ini dijalankan oleh pemerintahan Utsmaniyyah dengan sistem al-Bab al-‘Aliy, yaitu semacam sistem kabinet atau dewan menteri.
Pada masa kecilnya, Abdul Hamid belajar ilmu dasar kepada ayahnya. Selain mempelajari bahasa Arab dan Parsia, ia juga dengan tekun mempelajari sastra. Kepribadiannya sangat kuat walaupun ia tinggal ditengah arus westernisasi yang saat itu tengah gencar di Turki. Beliau tinggal di wisma kesultanan yang menjaganya dari segala tindak tanduk negatif dan pengaruh buruk dari kebudayaan Eropa.
Abdul Hamid menduduki kursi kesultanan Utsmaniyyah pada pada tanggal 31 Agustus 1876 M, menggantikan saudaranya sultan Murad. Dan setelah itu ia diberi gelar, Sultan Abdul Hamid II.
Abdul Hamid II dan Umat
Selama masa kepemimpinannya, Sultan Abdul Hamid II senantiasa dihadapkan dengan pelbagai permasalahan kenegaraan yang sangat rumit, yang jika tidak diselesaikan dengan tepat akan mengancam eksistensi kekhilafahan Turki Utsmaniyyah waktu itu. Pelbagai macam kekacauan dalam segala aspek tersebut bukan hanya berasal dari faktor interen -kalangan pejabat pemerintahan yang haus kekuasaan serta ancaman disintegrasi daerah yang jauh dari pusat pemerintahan Utsmaniyyah-, namun yang lebih mengancam adalah rongrongan kebencian dan kerakusan dari eksteren Eropa yang bermaksud menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmaniy.
Dalam menyelesaikan semua konflik yang datang, Abdul Hamid II senantiasa mementingkan pendekatan persuasif dalam pemecahan permasalahan dalam negerinya. Ia senantiasa menyebarkan ide-ide pemersatuan semua kelompok yang berada dalam kekuasaan kerajaan Utsmaniyyah untuk menggalang persatuan demi menghadapi menghadapi ancaman dari pihak luar yang ingin menghancurkan eksistensi kerajaan Utsmaniyyah. Ia mengusahakan terjalinnya persatuan antara pengikut Ahl sunnah wa al jamaah dengan pengikut Syiah demi menjaga wilayah Utsmaniyyah dari penjajahan bangsa kolonial Eropa.
Politik devide et empera yang diterapkan oleh bangsa kolonial Prancis, Inggris, Rusia dan Negara-negara Eropa lainnya untuk memecah belah persatuan umat. Ide Nasionalisme Arab yang ditanamkan kepada bangsa Mesir dan Negara-negara Afrika oleh Inggris dan Prancis demi mengahancurkan kekhilafahan Utsmaniyyah dari dalam, ia senatiasa mengikapinya dengan kecermatan dan kehati-hatian yang sangat mendalam. Semua itu ia lakukan bukan lantaran keterbatasan kekuasaan yang ia miliki, namun hal tersebut lebih dari demi menjaga kesatuan umat agar tidak terpecah belah. Sehingga bangsa Eropa yang sangat berkepentingan demi hancurnya kekhilafahan Utmaniyyah tidak bisa mengambil mamfaat dari lemahnya persatuan umat.
Sultan Abdul Hamid II mengutamakan membangun kesatuan umat, dengan lebih berkosentrasi terhadap perdamaian dengan para pejabat yang berniat melengserkannya. Ia memberi para pejabat tersebut fasilitas dan jabatan, berharap mereka dapat menyingkirkan ide-ide busuk mereka yang akan berdampak terhadap perpecahan umat dan disintegrasi negeri-negeri Islam yang jauh dari pusat.
Walau ia berhadapan dengan permasalahan dalam negeri yang sangat kompleks, Abdul Hamid II juga tidak pernah mengabaikan setiap gangguan yang mengancam kaum muslimin yang datang dari luar. Demi mempertahankan wilayah teritorial Utsmaniyyah dari gangguan Rusia, Sultan Abdul Hamid II bahkan rela membiayai perang dengan Rusia dengan hata pribadinya.
Salah satu konsistensi yang diperlihatkan oleh Sultan Abdul Hamid II dalam memelihara territorial wilayah Utsmaniyyah ialah usahanya dalam mempertahankan al Quds (Palestina) dari pencamplokan bangsa Yahudi. Usaha lobby yang gencar dilakukan para petinggi Zionis -Theodore Hertzl- agar sultan mau memberikan wilayah Palestina bagi kaum Yahudi, ia tolak mentah-mentah. Bahkan tawaran harta pribadi bagi sultan serta janji pelunasan hutang Negara Utsmaniyyah yang mencapai 300 juta lira, tidak mampu meluluhkan keteguhannya dalam mempertahankan tanah Palestina.
“Aku tidak dapat menjual bagian dari negeri tersebut (Palestina) walau satu telapak kaki pun, karena negeri itu bukan milikku, tetapi milik rakyatku. Rakyatku telah sampai kedaerah itu dengan mengucurkan darah mereka, dan mereka pun akan kembali menumpahkan darah mereka esok hari. Di masa mendatang, kami tak akan membiarkan seorang pun merampasnya dari kami”. Demikian tulis Hertzl mengutip jawaban dari Abdul Hamid II, ketika ia berusaha meminta Alquds kepada sultan. (Harb, Muhammad. 2004. Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II (terjemahan Abdul Halim). Bogor: Pustaka Thariqul Izzah).
Dicari: Pemimpin berjiwa Abdul Hamid II
Keshalehan politik yang dicontohkan Abdul Hamid II telah menjadi sejarah yang digoreskan dengan tinta emas. Konsistensinya dalam menjaga persatuan umat dan keutuhan wilayah kaum muslimin telah menjadi kenangan terindah kaum muslimin dimana pun mereka berdiri.
Dalam konteks Indonesia, pesta pemilihan presiden yang akan segera berlangsung tentunya sangat diharapkan akan melahirkan sosok pemimpin yang berjiwa seperti sultan Abdul Hamid II. Pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadinya. Pribadi yang diharapkan mampu mengayomi rakyat, memberikan mereka rasa aman dan kesejahteraan.
Cukup sudah ironi politik yang dipertontonkan dengan vulgar meracuni pikiran rakyat. Walau sistem politik yang ada, senantiasa memandu para politisi untuk bersikap inkonsisten, namun bagi mereka yang mempunyai kepribadian yang kuat dan jujur. Segala macam godaan dan cobaan yang menerpa tidak akan membengkokkan sikap dan karakter mereka yang lurus.
Kelak, ketika jasad mereka telah hancur berkalang tanah, jasa dan pengorbanan mereka akan kekal sepanjang masa, menembus batas dimensi abadi, melewati sekat-sekat zaman, serta akan menjadi sumber inspirasi bagi berjuta generasi setelahnya. Wallahua’lam.



Read More......

Prita Mulyasari dan Kebebasan Pers.

Rabu, 03 Juni 2009


Wajah perempuan itu terlihat sendu. Matanya sembab. Baju hitam yang dipadu dengan jilbab warna senada kian mempertegas kemurungan hatinya. Wajahnya tak mampu menahan kesedihan dan kerinduan kepada anak yang masih disusuinya, suami, dan keluarga. Prita Mulyasari, 32 tahun, sudah 20 hari mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tagerang akibat gugatan dari pihak Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra, Tangerang, tempat dulu ia dirawat.

Prita menjadi tahanan yang dititipkan oleh Kejaksaan Negeri tangerang karena disangka mencemarkan nama baik rumah sakit melalui Internet. Ia dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan hukuman maksimal enam tahun penjara atau denda maksimal Rp 1 miliar Ia menjadi orang kedua yang dijerat undang-undang itu setelah Narliswandi Piliang, seorang jumalis media on line.

Akibat pengurungan itu, berat badannya langsung melorot. "Selama di sini, berat badanku turun 5 kilogram," ujar karyawati di bagian call center di sebuah bank swasta ini. Selama di tahanan, Prita banyak mengisi waktu dengan mempelajari keterampilan. saat di kunjungi di ruang jenguk Lapas Wanita Tangerang yang sempit dan panas.

Perbuatan Prita Mulyasari (32) yang mengirimkan email berisi keluhan tentang pelayanan RS Omni Internasional kepada teman-teman pribadinya belum bisa dikategorikan pelanggaran dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hal itu karena email tersebut sifatnya keluhan pribadi.

"Jika hanya bersifat keluhan pribadi ya saya rasa tidak (termasuk pelanggaran) ya. Sama seperti kita kirim SMS ke teman. Kecuali jika ada motif tertentu maka di sinilah harus dibuktikan motifnya apa," ujar mantan anggota Panitia Khusus (Pansus) UU ITE Ganjar Pranowo saat berbincang dengan detikcom, Selasa (2/6/2009).
Ganjar menambahkan, perbuatan Prita yang mengirimkan email tersebut mungkin saja tanpa motif. "Kecuali kalau teman-temannya menyebarluaskan terus ditambah-tambahi, semua pihak bisa dipertanggungjawabk an," ungkapnya.

Menurut Ganjar, perbuatan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE mempunyai syarat pembuktian yang cukup sulit. Seseorang yang melanggar harus dibuktikan memiliki motif sengaja mencemarkan nama baik.

Oleh karenanya penyidik jangan gegabah menggunakan pasal tersebut jika belum mempunyai bukti yang cukup. "Karena ini di dunia maya jadi berbeda dengan dunia riil," tambahnya.

Sebelumnya, Prita ditahan karena dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap RS Omni lewat internet. Kasus yang menimpa Prita ini berawal dari email yang dia kirim kepada teman-temannya seputar keluhannya terhadap RS Omni. Email tersebut kemudian menyebar ke publik lewat milis-milis.

Dalam emailnya, Prita merasa dibohongi oleh diagnosa dokter ketika dirawat di RS tersebut pada Agustus 2008. Dokter semula memvonis Prita menderita demam berdarah, namun kemudian menyatakan dia terkena virus udara. Tak hanya itu, dokter memberikan berbagai macam suntikan dengan dosis tinggi, sehingga Prita mengalami sesak nafas.

Saat hendak pindah ke RS lainnya, Prita mengajukan komplain karena kesulitan mendapatkan hasil laboratorium medis. Namun, keluhannya kepada RS Omni itu tidak pernah ditanggapi, sehingga dia mengungkapkan kronologi peristiwa yang menimpanya kepada teman-temannya melalui email dan berharap agar hanya dia saja yang mengalami hal serupa.

Saat ini Prita telah ditahan di Lapas Wanita Tangerang, Banten. Selain dijerat dengan pasal pencemaran nama baik, Prita juga dikenai Pasal 27 ayat (3) UU ITE No 11/2008


Read More......

Serba-Serbi Indigo

Sabtu, 30 Mei 2009

Teman-teman,

Aku ingin tahu apa sih sebenernya defnisi anak Indigo?

J = Definisi anak indigo tergantung anda sendiri. Anda mau definisikan bagaimana, ya jadilah itu. Saya sendiri tidak suka memakai istilah indigo selain untuk bergurau saja karena menurut pengalaman pribadi saya, mereka yg mengaku sebagai indigo itu ternyata manusia yg memiliki naluri lebih kuat daripada manusia lainnya.

Naluri itu instincts, bawaan dari tubuh fisik. Naluri mengatur rasa lapar, haus, capek, birahi, pertahanan diri, dsb. Kalau lapar maka kita makan. Tetapi ada orang yg selalu merasa lapar terus, ini orang yg nalurinya kuat, lebih khusus lagi dalam hal mengunyah makanan. Ada orang yg selalu merasa haus. Ada orang yg selalu merasa capek. Ada orang yg selalu merasa konak karena naluri sex di dirinya terlalu besar. Ada juga orang yg selalu merasa harus mempertahankan dirinya dari serangan orang lain, semua orang dianggap sebagai berpotensi mengancam keberadaannya

Pedahal tidak ada soal ancam mengancam itu, dan segalanya cuma ada di dalam pikiran manusia yg terlalu naluriah itu. Istilah psikologinya bermacam-macam, tetapi karena saya bukan seorang psikolog dan cuma konselor biasa-biasa saja, maka saya menggunakan istilah yg juga umum, yaitu naluriah. Kalau nalurinya terlalu besar, maka orang akan mencari alasan apapun untuk mempertahankan keberadaan dirinya.

T = Apakah kmampuan mereka selalu bisa melihat makhluk gaib, membaca pikiran orang, melihat masa depan dan masa lalu, dan bisa mengetahui peristiwa yang terjadi di tempat lain?

J = Nggaklah. Itu isapan jempol belaka. Semua orang itu sedikit banyak bisa membaca pikiran orang lain. Kalau kita memiliki empati, maka kita bisa membaca pikiran orang. Saya sendiri bisa "tahu" orang dari melihat tulisannya saja. Anda juga bisa "tahu" orang hanya dengan menatap matanya. Ini kemampuan biasa-biasa saja.

Kalau melihat masa depan dan masa lalu memang suatu kelebihan tersendiri, tapi yg dilihat itu cuma impressi saja, kesan saja, dan tidak harus selalu persis. Sedangkan untuk mengetahui peristiwa yg terjadi di tempat lain merupakan hal yg sangat umum juga. Kita semua bisa, tinggal angkat telpon saja bukan?

T = Apakah saya termasuk indigo atau cuma mendekati indigo, karena setelah saya browsing di internet tentang anak indigo, banyak kesamaan ciri yang ada pada saya. Apakah itu cuma suatu kebetulan, seperti saya terkadang sangat takut sekali kalo suatu saat nanti saya berpisah dengan ortu saya, paling benci kalo menunggu, gampang sekali bosan, suka melamun, suka menyendiri di kamar, suka memperhatikan orang dengan pandangan yg aneh kata mereka sih, dan juga saya merasa terlalu sensitif dengan sifat-sifat orang, dan terkadang saya juga bisa mengetahui sifat-sifat orang dalam waktu yang singkat, jadi gak perlu mengenal untuk waktu yang lama, bahkan kadang hanya melihat orang tersebut saya sudah tau orang ini seperti apa, mungkin gara-gara itu saya jadi sensitf terhadap sifat-sifat orang, walaupun saya tidak bisa membaca secara langsung tapi saya bisa memahaminya dengan menganalisa dalam waktu yg relatif singkat.

Saya juga susah sekali berkonsentrasi, bahkan sering juga orang yang bilang saya telmi pedahal guru matematika saya dulu bilang kalo saya ini anak pinter, tapi saya gak merasa kalo saya pinter gara-gara saya susah sekali berkonsentrasi kalo sedang diajar di sekolah. Terus pernah ada orang pinter bilang kalo saya sensitf sekali dengan hal-hal yang gaib, terutama di bagian telinga kanan sampai sebagian leher di sebelah kanan, dan saya juga sering mendengar hal-hal yang orang lain tidak bisa mendengarnya, seperti ada benda jatuh suaranya terdengar keras sekali tapi anehnya tidak ada yg mendengar, dan pernah saya mendengar ada orang yang memangil saya dari pekarangan rumah saya saat bermain pedahal gak ada orang sama sekali, bahkan terkadang kalo saya tidur seringkali saya melihat ada penampakan orang-orang yang aneh atau hewan aneh dan saya merasa pada saat itu dalam keadaan setengah sadar.

J = Menurut saya anda biasa-biasa saja. Saya juga sensitif seperti itu, tapi saya tidak pernah menyebut diri saya indigo, untuk apa?. Mo indigo kek, mo gak indigo kek, so what gitu lho!

T = Dulu saya pernah bermimpi, waktu itu adik saya masih kecil, saya bermimpi pada waktu siang adik saya akan berkata begini kepada orang, dan ternyata benar siangnya ternyata adik saya berkata demikian, tapi mungkin cuma sekali saya bermimpi akan kejadian yang benar-bernar terjadi, gak tau kalo ada yang saya udah lupa.

J = That's very common, sangat umum. Semua orang mengalami kejadian seperti itu, namanya precognition, tahu sebelumnya. Bisa juga dibilang deja vu. Kita merasa seperti telah melihat sesuatu sebelum terjadi, dan ternyata benar-benar terjadi. Penjelasanya adalah bahwa pikiran kita bekerja secara telepathik, sambung menyambung dengan pikiran-pikiran yg lain. Ada juga teori yg mengatakan bahwa waktu itu illusi, dan segalanya yg akan terjadi sebenarnya telah terjadi sehingga bisa kita "lihat" juga kalau kita kebetulan masuk ke dalam frekwensi yg sesuai. Ini cukup biasa, dan tidak perlu terlalu dipikirkan.

Dan berikut percakapan dengan rekan yg berbeda:

T = Yth. Mas Leo,

Terima kasih atas balasan surat dari mas dan juga atas sharingnya. Mudah-mudahan ini dapat menjadi awal yang baik untuk diskusi selanjutnya dan saya bisa belajar banyak dari Mas Leo.

Saya jadi merasa “telmi” (telat mikir), masalah anak indigo saja belum paham betul… eee... sudah muncul generasi anak kristal. So, apa perbedaan yang signifikan antara anak indigo dan anak kristal? Apa hanya karena perbedaan temperamen saja, di mana anak kristal lebih tenang? Kenapa disebut anak kristal (kenapa gak disebut anak berlian atau emas, he..he..he) ? Maaf, banyak tanya.

J = Menurut saya istilah anak kristal itu muncul karena peluang bisnis. Psikolog yg menciptakan istilah indigo itu kan sudah panen uang gede-gedean, sehingga akhirnya ada psikolog yg bermata jeli dan melihat another opportunity. Diciptakanlah istilah anak kristal, dan bener aja, panen duit lagi.

Indigo is a big business in the USA, puluhan buku diterbitkan, mungkin ada trainings segala macam, konseling, dan pengalihan label anak bermasalah menjadi anak indigo.

T = Setelah membaca tulisan Mas Leo, jadi terpikir oleh saya jangan-jangan fenomena indigo itu hanya sebuah rekaan manusia yang merasa dituntut untuk selalu berkarya sesuai dengan bidang yang diminati/digeluti, untuk menghasilkan pengetahuan- pengetahuan baru. So, ada sebagian orang yang cermat melihat/mengamati adanya gejala-gejala baru atau kecenderungan perilaku anak-anak yang muncul pada generasi pada saat itu. Kalau tidak salah (ini cuma menurut pikiran saya, yang orang dengan kemampuan rata-rata alias bukan pinter), sebuah asumsi atau teori itu lahir berawal dari pengamatan terhadap suatu keajegan yang membentuk suatu pola tertentu.

J = Ya benar, 100 untuk anda.

T = Sekali lagi, jika saya kaitkan dengan tulisan Mas Leo bahwa telah terjadi perubahan peradaban dalam kehidupan, yang salah satu dampak positifnya adalah perubahan cara pandang terhadap eksistensi dan perlakuan terhadap seorang anak. Perubahan perlakuan tersebutlah yang akhirnya berpengaruh pada perubahan pola perilaku anak, anak-anak tumbuh semakin cerdas, semakin jujur, semakin sensitive, dan lebih bisa berempati.

Perubahan pola perilaku atau kecenderungan perilaku anak-anak pada masa tersebut, kemudian ditangkap/dibaca dengan jeli oleh orang-orang yang berminat pada fenomena yang sedang terjadi tersebut dan kemudian diterjemahkan dalam asumsi/teori, sehingga terlahirlah suatu pengetahuan baru tentang fenomena anak indigo. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan kecenderungan aura yang muncul pada anak-anak tersebut berwarna indigo.

J = Ya, memang demikian.

T = Sekali lagi, kalau saya kaitkan dengan tulisan Mas Leo, berarti, fenomena anak indigo sebenarnya adalah fenomena yang wajar saja terjadi, sebagai akibat dari adanya perubahan peradaban tersebut. Kalaupun ada ‘anak indigo’ yang mempunyai perilaku yang aneh-aneh dan membuat orang di sekitarnya menjadi pusing, mungkin saja itu merupakan sebagian dari proses transisi dari peradaban yang lama ke yang baru. Kalau memang demikian, sebenarnya yang mengalami transisi adalah para orang tuanya, dari peradaban yang dibawa oleh generasi yang lebih tua dari si orang tua, menuju peradaban yang lebih baru yaitu masa kehidupan yang sedang dialami oleh generasi para orang tua anak indigo. So pasti, masa transisi atau perubahan tersebut berpengaruh pada pola pikir para orang tua dan pola dalam memperlakukan anak. Setahu saya, masa transisi biasanya masa yang tidak nyaman, biasanya karena aturan mainnya masih dapat berubah-ubah.

J = Iyalah, kita semua sudah tahu itu. Anak-anak kita sudah jauh lebih jujur dibandingkan dengan generasi kita, dan kita haruslah belajar dari anak-anak kita dan bukan memaksakan apa yg diajarkan oleh orang tua kita dahulu kepada generasi di bawah kita. Kita dulu dididik untuk menjadi manusia munafik, sedikit banyak seperti itu. Tantangannya sekarang, akankah kita juga mendidik generasi di bawah kita menjadi manusia munafik? Kalau ya, kapan kita mau maju?

Kemampuan anak Indonesia sebenarnya tidak kalah dengan anak yg dilahirkan di Amerika Serikat, tetapi cara mendidiknya itu beda. Mereka di sana dididik untuk menjadi diri sendiri. Kita di sini, untuk menjadi diri sendiri saja masih dihalangi.

T = Apa yang saya kemukakan tadi, merupakan pikiran sederhana saya, yang notabene bukan orang pinter, dan tanpa memperhatikan ada/tidaknya kemampuan metafisik yang dimiliki anak indigo.

J = Kemampuan metafisik itu cuma istilah saja, kemampuan seperti apa, melihat hantu?

You could let such nonsense go. Kita semua memiliki kemampuan metafisik, there's nothing strange about that. Baik kita pakai istilah indigo ataupun tidak, kita semua memang memiliki kemampuan non fisik, namanya kemampuan empatik, membaca apa yg dirasakan oleh orang lain. We use it all the time. Anda juga menggunakannya, bahkan ketika sedang membaca tulisan ini, ya gak?

T = Kebetulan saya mempunyai teman yang dapat melihat warna aura seseorang. Dia mengatakan bahwa warna aura manusia dapat berubah-ubah, tergantung dari jiwanya. Jika memang demikian, bisa jadi, saat anak lahir tidak memiliki aura warna indigo, tapi setelah mendapat perlakuan yang kondusif untuk terbentuk karakter anak indigo, so auranya berubah menjadi warna indigo.

J = Aura itu impressi saja. Kalau orangnya aktif secara fisik, maka kita memperoleh impressi bahwa warna auranya merah kuning. Kalau orangnya emosional, maka kita akan memperoleh impressi aura berwarna hijau, dsb.

T = Setahun yang lalu, teman saya melihat aura anak saya berwarna biru-kemerahan, kemudian sebulan yang lalu aura anak saya berwarna merah. Saya cek ke teman yang lain, katanya juga merah. Dan teman saya juga mengatakan bahwa anak saya mempunyai instinct yang kuat sehingga tahu apa yang baik untuk dia lakukan dan saya disarankan untuk tidak terlalu mengatur/mendikteny a..

J = Ya, itu benar. Dalam terminologi aura-auraan, begitulah cara penyampaiannya. Anak anda semakin aktif secara fisik sehingga terlihat auranya semakin merah.

T = Saya jadi bingung. Banyak karakter anak saya yang cocok dengan karakter anak indigo, tapi auranya berwarna merah. Tambah bingung lagi, sekarang muncul fenomena anak kristal. Mungkin untuk lebih tenangnya, saya setuju dengan pemikiran Mas Leo bahwa revolusi pendidikan telah membuat para orang tua, guru, dan juga masyarakat menjadi lebih beradab dalam memperlakukan anak sehingga anak bisa tumbuh lebih sensitif, lebih memiliki empati, lebih cerdas, berpikir lebih bijak, dan lebih jujur. Ini terlepas dari urusan warna aura.

J = Anda tidak perlu bingung dengan istilah aura-auraan. Mau aura berwarna indigo kek, mao merah kek, so what gitu lho. You are the parent, and you have to responsibility to follow your child's development, tut wuri handayani. Dan itu tanpa perlu konsultasi tentang warna aura segala macam.

T = Mas Leo mengatakan:

"Generasi-generasi sebelumnya biasanya membebankan segalanya kepada si anak yg harus belajar agama, harus menurut, harus bilang ya walaupun hati kecilnya bilang tidak. Akibatnya kita memiliki generasi yg diajar untuk munafik sejak masih kecil. Kalau masih kecil saja sudah munafik, apalagi kalau sudah dewasa? Tapi itulah yg kita dapati sekarang di Indonesia, generasi demi generasi yg dididik untuk menjadi manusia munafik."

Saya S E T U J U !!

Kalau boleh saya tambahi, sejak kecil seringkali anak diajarkan untuk tidak melihat ke dalam dirinya sendiri. Sehinga setelah dewasa, seringkali melihat suatu kesalahan selalu ditimbulkan oleh situasi atau orang lain alias dirinya tidak pernah salah. Dan juga tidak punya keberanian untuk introspeksi diri sejujur-jujurnya. Nah, orang semacam itu biasanya cuma bikin runyam suasana saja. Setuju, gak?

J = Setuju, kita memang dididik oleh generasi di atas kita yg pendidikannya masih kurang. Untungnya kita sudah lebih maju sekarang.

T = Mas Leo mengatakan:

“Tekan menekan adalah kata kunci di sini. Sejauh mana kita mau menekan anak-anak kita untuk mengikuti jalan pikiran kita? Tetapi nampaknya anda bukan jenis orang tua seperti itu.”

Jujur saja, dulu saya memang agak menekan anak saya, karena saya menaruh harapan yang tinggi pada dia (mungkin ini warisan perlakuan dari bapak saya yang perfectionist dan otoriter). Mungkin juga didukung oleh sikon waktu itu, saya kuliah dan kerja (suami sempat 3 tahun bekerja di luar kota), sehingga semua harus berjalan sesuai dengan rencana dan aturan saya agar semua urusan bisa selesai. Akibatnya, anak saya menjadi korban. Karena itu, saya memutuskan untuk sementara konsen pada anak.

Saya tidak tahu banyak tentang teori psikologi anak, tapi saya meyakini bahwa basic character building manusia terjadi sampai anak usia 10 tahun (ini cuma berdasar naluri saya sebagai seorang ibu). Tentunya Mas Leo jauh lebih mengetahui tentang hal tsb daripada saya. Kalau sekarang saya lebih sabar dan ibarat seperti bermain layang-layang dalam memperlakukan anak saya. Saya belajar untuk longgar hati dan memberi ruang gerak yang lebih luas bagi anak saya untuk menggali potensinya dan mengekspresikan dirinya. Puji Tuhan, sekarang dia menjadi anak yang sering membuat kami terkejut dengan kemajuan-kemajuan yang dibuatnya.

J = That's good.

T = Mas Leo bilang:

“You care for your kid, termasuk orang tua teladan juga maybe".

Ini pujian yang berlebihan, mas. Btw, saya amini saja deh, biar menjadi ortu teladan beneran bukan sekedar ‘maybe’. he..he..he..

J = Amin.

T = Sebelum saya akhiri surat ini, bolehkah saya tahu, Mas Leo saat ini aktif dimana? Apakah sebagai dosen psikologi? Terima kasih banyak atas waktu yang diluangkan untuk sharing dengan saya.

J = Saya memberikan konseling kepada mereka yg meminta walaupun background saya bukan psikologi. Bersama Audifax saya menulis buku "Psikologi Tarot" (Pinus, 2008). Yg memiliki background psikologi itu Audifax, saya kebagian peran cuap-cuap memberikan konseling kepada anak-anak yg mengindigokan diri dan orangtuanya.


Read More......