Sultan Abdul Hamid II; Aktualisasi Nilai Islam Dalam Ranah Politik Modern

Islam dan politik adalah dua suku kata yang sangat familiar. Dalam diskusi dan kajian politik keduanya sering hadir secara bersamaan. Kedua istilah ini mampu menyedot perhatian para intelektual untuk membahasnya. Sebagian orang malah melabelkan Islam untuk dipasangkan dengan kata politik –politik Islam-. Walaupun demikian halnya, pada realita peta politik di zaman modern tetap saja dua istilah ini dipandang ibarat dua sisi simetris rel kereta api yang sulit untuk dipertemukan.
Dalam bahasa politik ada sebuah adagium yang seakan sudah menjadi manifesto para politisi; "Tak ada yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan". Disisi lain, Islam berbicara atas dasar prinsip-prinsip idealis yang bersifat absolut, dan semuanya itu terangkum dalam Alquran dan Hadist. Dua kitab suci yang senantiasa dipegang teguh setiap muslim sebagai sumber hukum mutlak yang tak dapat dibantah.

Dinamika ideologi politik modern cenderung bersifat pragmatis karena bersumber dari proses perenungan dan pemikiran kaum intelektual yang tidak mungkin melepaskan diri dari tandensi-tandensi pihak tertentu. Sedangkan Islam, ialah sebuah produk penuntun yang langsung bersumber dari Allah swt, Pencipta dan Pengatur manusia dan tentunya Maha Tahu dengan kebutuhan makhluknya.
Dan menurut Sayyid Quthb, pemerintah yang tidak menerapkan Islam sebagai UU disebut sebagai Masyarakat Jahilliah. (Hidayat, Nuim. 2005. Sayyid Quthb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani Press). Dalam sejarah politik modern, sistem pemerintahan yang pure mengambil dua sumber hukum yang datang dari Allah swt sebagai Undang-Undang (UU) tidaklah pernah kita temukan. Namun kenyataan tersebut bukanlah sebuah ketidak niscayaan akan adanya pemerintah yang mengadopsi nilai-nilai Islam untuk diterapkan dalam prilaku politik.
Abdul Hamid (1842-1918 M) adalah salah satu contoh ideal dari sosok pemimpin yang mampu menerapkan nilai-nilai Islam dalam perjalanan karir politiknya sebagai penguasa kesultanan Utsmaniyyah. Walaupun pada masa pemerintahannya sistem pemerintahan Barat sudah kuat, karena proses infiltrasi sistem pemerintahan Barat sudah diterapkan oleh sultan sebelumnya. Namun westernisasi sistem pemerintahan Khilafah yang berimplikasi terhadap prilaku politisi menjadi pribadi pragmatis dan opurtunis tidaklah mengubah kepribadian Abdul Hamid sebagai seorang pemimpin muslim yang idealis dan teguh dalam memegang prisip keislamannya.
Abdul Hamid adalah salah seorang putra dari Sultan Abdul Madjid, Sultan dari keluarga Utsman yang pada masa pemerintahannya kesultanan Utsmaniyyah untuk pertama kali mengadopsi sistem pemerintahan yang berasal dari Barat (Eropa). Ia mengganti sistem struktur Diwan yang selama ini dijalankan oleh pemerintahan Utsmaniyyah dengan sistem al-Bab al-‘Aliy, yaitu semacam sistem kabinet atau dewan menteri.
Pada masa kecilnya, Abdul Hamid belajar ilmu dasar kepada ayahnya. Selain mempelajari bahasa Arab dan Parsia, ia juga dengan tekun mempelajari sastra. Kepribadiannya sangat kuat walaupun ia tinggal ditengah arus westernisasi yang saat itu tengah gencar di Turki. Beliau tinggal di wisma kesultanan yang menjaganya dari segala tindak tanduk negatif dan pengaruh buruk dari kebudayaan Eropa.
Abdul Hamid menduduki kursi kesultanan Utsmaniyyah pada pada tanggal 31 Agustus 1876 M, menggantikan saudaranya sultan Murad. Dan setelah itu ia diberi gelar, Sultan Abdul Hamid II.
Abdul Hamid II dan Umat
Selama masa kepemimpinannya, Sultan Abdul Hamid II senantiasa dihadapkan dengan pelbagai permasalahan kenegaraan yang sangat rumit, yang jika tidak diselesaikan dengan tepat akan mengancam eksistensi kekhilafahan Turki Utsmaniyyah waktu itu. Pelbagai macam kekacauan dalam segala aspek tersebut bukan hanya berasal dari faktor interen -kalangan pejabat pemerintahan yang haus kekuasaan serta ancaman disintegrasi daerah yang jauh dari pusat pemerintahan Utsmaniyyah-, namun yang lebih mengancam adalah rongrongan kebencian dan kerakusan dari eksteren Eropa yang bermaksud menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmaniy.
Dalam menyelesaikan semua konflik yang datang, Abdul Hamid II senantiasa mementingkan pendekatan persuasif dalam pemecahan permasalahan dalam negerinya. Ia senantiasa menyebarkan ide-ide pemersatuan semua kelompok yang berada dalam kekuasaan kerajaan Utsmaniyyah untuk menggalang persatuan demi menghadapi menghadapi ancaman dari pihak luar yang ingin menghancurkan eksistensi kerajaan Utsmaniyyah. Ia mengusahakan terjalinnya persatuan antara pengikut Ahl sunnah wa al jamaah dengan pengikut Syiah demi menjaga wilayah Utsmaniyyah dari penjajahan bangsa kolonial Eropa.
Politik devide et empera yang diterapkan oleh bangsa kolonial Prancis, Inggris, Rusia dan Negara-negara Eropa lainnya untuk memecah belah persatuan umat. Ide Nasionalisme Arab yang ditanamkan kepada bangsa Mesir dan Negara-negara Afrika oleh Inggris dan Prancis demi mengahancurkan kekhilafahan Utsmaniyyah dari dalam, ia senatiasa mengikapinya dengan kecermatan dan kehati-hatian yang sangat mendalam. Semua itu ia lakukan bukan lantaran keterbatasan kekuasaan yang ia miliki, namun hal tersebut lebih dari demi menjaga kesatuan umat agar tidak terpecah belah. Sehingga bangsa Eropa yang sangat berkepentingan demi hancurnya kekhilafahan Utmaniyyah tidak bisa mengambil mamfaat dari lemahnya persatuan umat.
Sultan Abdul Hamid II mengutamakan membangun kesatuan umat, dengan lebih berkosentrasi terhadap perdamaian dengan para pejabat yang berniat melengserkannya. Ia memberi para pejabat tersebut fasilitas dan jabatan, berharap mereka dapat menyingkirkan ide-ide busuk mereka yang akan berdampak terhadap perpecahan umat dan disintegrasi negeri-negeri Islam yang jauh dari pusat.
Walau ia berhadapan dengan permasalahan dalam negeri yang sangat kompleks, Abdul Hamid II juga tidak pernah mengabaikan setiap gangguan yang mengancam kaum muslimin yang datang dari luar. Demi mempertahankan wilayah teritorial Utsmaniyyah dari gangguan Rusia, Sultan Abdul Hamid II bahkan rela membiayai perang dengan Rusia dengan hata pribadinya.
Salah satu konsistensi yang diperlihatkan oleh Sultan Abdul Hamid II dalam memelihara territorial wilayah Utsmaniyyah ialah usahanya dalam mempertahankan al Quds (Palestina) dari pencamplokan bangsa Yahudi. Usaha lobby yang gencar dilakukan para petinggi Zionis -Theodore Hertzl- agar sultan mau memberikan wilayah Palestina bagi kaum Yahudi, ia tolak mentah-mentah. Bahkan tawaran harta pribadi bagi sultan serta janji pelunasan hutang Negara Utsmaniyyah yang mencapai 300 juta lira, tidak mampu meluluhkan keteguhannya dalam mempertahankan tanah Palestina.
“Aku tidak dapat menjual bagian dari negeri tersebut (Palestina) walau satu telapak kaki pun, karena negeri itu bukan milikku, tetapi milik rakyatku. Rakyatku telah sampai kedaerah itu dengan mengucurkan darah mereka, dan mereka pun akan kembali menumpahkan darah mereka esok hari. Di masa mendatang, kami tak akan membiarkan seorang pun merampasnya dari kami”. Demikian tulis Hertzl mengutip jawaban dari Abdul Hamid II, ketika ia berusaha meminta Alquds kepada sultan. (Harb, Muhammad. 2004. Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II (terjemahan Abdul Halim). Bogor: Pustaka Thariqul Izzah).
Dicari: Pemimpin berjiwa Abdul Hamid II
Keshalehan politik yang dicontohkan Abdul Hamid II telah menjadi sejarah yang digoreskan dengan tinta emas. Konsistensinya dalam menjaga persatuan umat dan keutuhan wilayah kaum muslimin telah menjadi kenangan terindah kaum muslimin dimana pun mereka berdiri.
Dalam konteks Indonesia, pesta pemilihan presiden yang akan segera berlangsung tentunya sangat diharapkan akan melahirkan sosok pemimpin yang berjiwa seperti sultan Abdul Hamid II. Pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadinya. Pribadi yang diharapkan mampu mengayomi rakyat, memberikan mereka rasa aman dan kesejahteraan.
Cukup sudah ironi politik yang dipertontonkan dengan vulgar meracuni pikiran rakyat. Walau sistem politik yang ada, senantiasa memandu para politisi untuk bersikap inkonsisten, namun bagi mereka yang mempunyai kepribadian yang kuat dan jujur. Segala macam godaan dan cobaan yang menerpa tidak akan membengkokkan sikap dan karakter mereka yang lurus.
Kelak, ketika jasad mereka telah hancur berkalang tanah, jasa dan pengorbanan mereka akan kekal sepanjang masa, menembus batas dimensi abadi, melewati sekat-sekat zaman, serta akan menjadi sumber inspirasi bagi berjuta generasi setelahnya. Wallahua’lam.



0 Comments: